Select Menu

ads2

Slider

Featured Post (Slider)

Rumah - Interior

Recent Comments

Kesehatan

Social Icons

google plus facebook linkedin

Artikel Popular

Portfolio

Motivasi Kerja

Travel

Performance

Cute

My Place

Motivasi Kerja

Racing

Videos

» » Jatuh Cinta pada Lombok setelah Patah Tulang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Axel Moeller, Presiden Audax Indonesia

Di antara aneka iven cycling besar di Indonesia, yang paling kondang mungkin adalah Lombok Audax. Event berjarak ekstrem itu hingga ratusan kilometer digelar sejak 2010. Axel Moeller, seorang pria asal Jerman yang cinta Lombok, adalah pemrakarsanya.

Kalangan penggemar sepeda serius, khususnya yang suka touring, sangat mungkin pernah tahu nama Audax. Ada “audax” di sini, di situ, dan di mana-mana.

Audax bukan untuk penggemar sepeda “biasa”. Audax adalah iven bersepeda jarak jauh (long distance), yang menempuh jarak hingga ratusan kilometer. Pesertanya tidak balapan, tidak berlomba mencatat waktu terbaik. Mereka hanya diberi batasan waktu.

Pokoknya, jam segini harus sampai!

Misalnya, Lombok Audax 2013, yang diselenggarakan pada Januari men­da­tang dan didukung penuh Jawa Pos Cycling. Iven tersebut akan menempuh jarak 300 kilometer dalam sehari! Peserta yang ikut diberi waktu sampai maksimal 17 jam untuk menyelesaikan rute yang disiapkan.

Lombok Audax bukanlah iven baru. Bahkan sebenarnya sudah tiga kali diselenggarakan (sejak 2010). Semuanya selalu dianggap sukses, dengan peserta yang mampu mengundang decak ka­gum.

Datang dari seluruh Indonesia, juga dari mancanegara. Tidak sedikit dari kalangan paling eksklusif, paling eksekutif.

Lombok Audax, sejauh ini, banyak dianggap sebagai yang terbaik.

Kesuksesan itu adalah im­pian seorang penggemar sepeda asal Jerman, Axel Moeller. Lelaki 60 tahun tersebut merupakan mantan atlet dayung tim na­sional Jerman yang kini me­netap di Indonesia dan sa­ng­at, sangat, sangat cinta pada Pulau Lombok.

Moeller masih ingat betul satu kejadian yang membuat dirinya langsung jatuh cinta pada Lombok. Peristiwa itu tak bisa dibilang sebagai kenangan manis, karena sebenarnya mem­buat dirinya mengalami patah tulang di tiga tempat.

Namun, saat ditemui di kediamannya di Taman Se­jah­tera, Pejeruk Ampenan, Ma­ta­ram, kemarin (14/12), Moeller menceritakannya seolah-olah itu adalah kejadian paling manis dalam hidupnya.

“Kecelakaan tersebut mem­buat saya jatuh cinta pada Lom­bok dan saya ingin selamanya tinggal di sini,” tegasnya.

Saat itu tahun 2008. Moeller bersepeda sendirian mengikuti jalanan di pesisir pantai Lom­bok. Kendati tanjakan dan tu­ru­nan tajam mewarnai garis pan­tai, lelaki kelahiran Lubeck, Jer­man, tersebut justru makin bersemangat.

Ketika mencapai turunan di Nipah, jalur menurun tajam. Bukannya mengurangi kece­pa­tan, dia justru membiarkan dirinya meluncur cepat. “Berat badan saya semakin membuat sepeda meluncur kencang,” kenang Moeller, yang bertinggi badan 190 cm.

Moeller lantas disambut kelokan tajam. Sejumlah pasir ikut menyambut di permukaan jalan. Meski tuas rem ditarik, sepeda tetap tak bisa diken­da­likan. Roda selip dan dia ter­pe­lanting, lantas tak sadar diri. “Saya tidak ingat apa-apa. Ra­sa­nya saya mau mati saja,” tu­turnya.

Moeller tidak tahu. Rupanya, tubuhnya terpelanting hingga menimpa pohon-pohon dan tumbuhan di pinggir jalan. Sepedanya tidak mengalami kerusakan berat, tapi helmnya hancur dan barang-barang ba­waannya berceceran.

Penduduk sekitar me­ne­mu­kannya telentang di atas jalan tanpa pertolongan. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Warga Ni­pah pun beramai-ramai me­no­longnya. Mereka me­ngum­pul­kan barang-barang Moeller dan mencegat mobil yang lewat untuk membantu membawanya ke rumah sakit.

Saat sadar, Moeller men­da­pati kondisi badannya babak belur. Tulang bahu kanan dan dua tulang rusuknya patah. “Saat itulah saya diberi tahu bahwa saya ditolong warga kampung. Mereka membawa saya ke ru­mah sakit beserta barang-ba­rang saya. Yang me­ngagumkan, tidak ada satu pun barang saya yang hilang. Saya sangat ber­terima kasih kepada mereka. Saat saya mau memberi im­ba­lan, tidak ada yang mau me­ne­ri­ma. Ini benar-benar me­nga­gum­kan,” ceritanya dengan mata berbinar-binar.

Sejak saat itulah, hubungan Moeller dengan warga terjalin baik. Setiap kali dia bersepeda melewati turunan maut itu, warga mengenalnya sebagai lelaki yang hampir mati karena kecelakaan sepeda. Moeller juga sering menyapa mereka dan mereka menyapa balik. “Saya berutang nyawa kepada me­reka,” tegasnya.

Sejak saat itu juga, Moeller tidak percaya anggapan miring yang mengatakan bahwa Indonesia tidak aman. “Di Indonesia lebih mudah mencari teman daripada di Jerman. Di sini sudah biasa orang-orang ber­kumpul dan tertawa ber­sama-sama dan kita bisa seperti ke­luarga,” katanya.

Saat ditemui JPNN di ru­mah­nya, Moeller menunjukkan beberapa sepeda koleksinya. Yang dipajang di ruang tamu adalah sepeda pabrikan Jerman, Storck Scentron, keluaran 2012. Dia melengkapinya dengan grou­pset elektronik Cam­pag­no­lo Super Record EPS. Sepeda tersebut dia beli langsung dari salah satu dealer terbesar Storck di Koln (Cologne), Jerman. Sepeda kedua diletakkan di ruang tengah, tepat di belakang ruang makan. Sepeda keluaran Eddy Merckx, jenis EMX-1.

Tapi, Moeller lantas me­nun­jukkan satu sepeda yang sangat dia cintai. “This is sexy bike,” ujarnya setelah membuka pintu bagasi belakang Suzuki APV di garasi rumahnya. Isinya, sebuah Polygon Helios 780. Sepeda keluaran 2007 tersebut terlihat sedikit kotor karena justru yang paling sering dipakai.

Sejak terjatuh pada 2008 itu, Moeller mulai memberi tahu rekan-rekannya tentang Lom­bok. Dia juga beberapa kali mengajak dua putrinya, Miriam, 27, serta Madeleine, 25, datang dari Jerman dan bersepeda keliling pantai.

Menurut Moeller, kedua putrinya benar-benar terpana atas keindahan Lombok. Mereka yang awalnya ke Bali untuk berlibur justru minta lebih lama di Lombok bersama sang ayah.

Miriam dan Madeleine me­ru­­pakan buah hati pernikahan Moeller dengan Yvonne Moeller pada 1982. Sang istri meninggal pada 1998 karena aneurisma.

“Setelah kematian istri, saya keluar dari semua pekerjaan dan saya mendampingi kedua putri saya.

Saya ajak mereka berjalan-jalan ke berbagai negara. Sampai akhirnya saya sampai di Indonesia dan Lombok. Saya pun tahu bahwa hidup saya selanjutnya akan di sini,” tuturnya.

Setelah kedua anaknya de­wasa, pada 2006, Moeller mulai menetap di Lombok. Karena Miriam dan Madeleine masih belum terbiasa, dia berkali-kali harus rela bolak balik Jerman-Lom­bok untuk menemani me­reka. Namun, lama-kelamaan, mereka akhirnya benar-benar bisa hidup mandiri dari sang ayah. Moeller lantas menjalin pernikahan dengan Tenne Per­ma­tasari yang orang Lombok asli.

Dua putrinya itu juga yang me­ndorong Moeller untuk me­ngundang lebih banyak orang ke Lombok. Apalagi, lelaki yang lahir pada 6 Maret 1952 tersebut memiliki banyak rekan yang juga gemar bersepeda.

Moeller lantas berpikir format apa yang pas dengan medan di Lombok. Dia lantas ingat kebiasaannya bersepeda jarak jauh saat masih di Luberck dan Hamburg dulu.

Inilah cikal bakal Audax Indonesia? Moeller mencari in­for­masi tentang Audax langsung ke Perancis. Ada dua macam lem­baga resmi Audax. Satu lembaga bernama ACP (Audax Club Pa­ris­ienne) dan satunya lagi adalah L’Union Des Audax Francais (UAF). Lembaga per­tama me­miliki aturan bahwa Audax adalah bersepeda bebas jarak jauh. Mereka hanya dibekali peta dan harus menuju titik finis sendiri-sendiri. “Saya melihat, itu tidak cocok. Orang Indonesia orangnya ramai suka ber­kumpul,” katanya.

Hal itulah yang membawa Moeller ke lembaga kedua, yakni UAF. Audax versi UAF cuma punya tiga syarat pokok. Yakni, start together, ride together, dan finish together. Mereka hanya perlu menempuh kecepatan rata-rata 22,5 kilometer per jam.

Moeller langsung mengurus lisensinya. Baik via surat-me­nyurat maupun langsung men­da­tangi organisasi tersebut.

Pada 2010, dia akhirnya mendirikan Audax Indonesia dengan Lombok Audax sebagai iven pertama saat itu. (***)

[Red/Administrator]

Sumber

About Unknown

Beritabuzz.blogspot.com merupakan salah satu divisi pengembangan Portal Online Pengetahuan Umum dari Kios Buku Gema (Gemar Membaca)™.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply