Select Menu

ads2

Slider

Featured Post (Slider)

Rumah - Interior

Recent Comments

Kesehatan

Social Icons

google plus facebook linkedin

Artikel Popular

Portfolio

Motivasi Kerja

Travel

Performance

Cute

My Place

Motivasi Kerja

Racing

Videos

» » Jiwa Sehat
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Oleh Bambang Recorder


APAKAH yang disebut dengan jiwa sehat, jiwa kuat, jiwa lemah dan jiwa sakit? Menurut pengertian penulis: Jiwa sehat ialah jiwa yang sejahtera, tenteram dan bahagia. Jiwa kuat ialah jiwa yang dapat menciptakan, menimbulkan, mengadakan, memelihara iklim (suasana) sejahtera tersebut. Jiwa yang lemah ialah jiwa yang dalam pengolahan kesan-kesan dari dunia luar melalui pancaindra setiap kali kalah karena dipengaruhi nafsu negatif. Sedang jiwa adalah sakit, jika keseimbangannya terganggu, tidak ada ketenangan, atau letaknya imbangan tidak tepat.

Kita semua menginginkan jiwa sehat bukan? Dengan lain perkataan kita menginginkan kebahagiaan. Setiap orang menginginkan kebahagiaan. Mengikuti jalan pikiran ini, untuk dapat bahagia kita harus lebih dahulu mempunyai jiwa yang kuat. Tidak mungkin kebahagiaan datang dengan sendirinya, tidak mungkin sesuatu disulap menjadi kebahagiaan, tidak mungkin mantra-mantra menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan datang, tercapai, hanya atas dasar usaha, usaha yang tidak mudah, karena terdiri atas pendidikan diri sendiri dan latihan terus menerus. Kebahagiaaan tidak akan didapat oleh seorang pemalas.

Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso (dokter ahli jiwa) menjelaskan bahwa jiwa terdiri atas tiga bagian yakni, angan-angan, perasaan, dan nafsu. Perasaanlah yang menentukan taraf kesehatan jiwa. Memang perasaan itu sendiri adalah iklim jiwa. Apakah iklim ini tenang, tenteram, ataukah bergolak? Kerja angan-angan dan nafsu-nafsu manusia akan mempengaruhi keadaan perasaannya.

Perasaan itu selalu ada, setiap kali timbul sebagai reaction (jawaban) atas pengaruh dari luar, misalnya rasa marah, puas, sedih, senang, iri, sayang dan seterusnya. Tentang marah misalnya, dikatakan oleh seorang ahli filsafat: “Orang yang tidak dapat marah itu tolol, orang yang tidak mau marah itu bijaksana.” Soalnya kini agak jelas, bukannya untuk mematikan perasaan, akan tetapi untuk mengatur dan menguasainya istilah asing disebut “Emotion Control”.

Usaha kita untuk menuju jiwa sehat tidak lain ialah melatih diri, terus menerus tidak pernah berhenti, untuk mengendalikan impuls-impuls yang merupakan reaction (jawaban) atas kesan-kesan yang kita terima, yang secepat kilat diolah oleh angan-angan dan nafsu-nafsu, dan pada umumnya secepat juga kita terjemahkan ke dalam sesuatu perbuatan, sudah barang tentu dengan segala akibatnya.

Pada dasarnya, jawaban atas kesan-kesan itu hanya ada dua macam, yaitu, menolak atau menerima. Perasaan itu dapat diibaratkan seperti bunga, apabila iklim menolak mengakibatkan bunga itu menutup, jika menerima bunga itu membuka (mekar). Mekar akan memperkuat jiwa, menutup melemahkan jiwa. Perasaan menolak, yang terjadi terus menerus pada jiwa seseorang akan menjadi kebiasaan, kemudian menjadi watak (tabiat), yang sudah barang tentu mempunyai akibatnya.

Jika terjadi“penolakan” dengan lain perkataan “rasa marah”, jengkel, iri, tidak senang dan sebagainya pada seseorang, kemudian diterjemahkan ke dalam suatu perbuatan, maka menjadi perbuatan negatif. Perbuatan ini mungkin hanya terdiri dari pengeluaran kata-kata atau mungkin hanya roman muka saja yang tidak enak, akan tetapi saat itu, ia sudah menanam perbuatan yang tidak baik. Akibatnya, ia akan memetik buah perbuatan yang jelek. Apakah seseorang percaya ataukah tidak, hukum Tuhan ini akan berlangsung.

Seorang kawan pernah mengatakan kepada istrinya: “Jika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, janganlah lekas-lekas berbuat atau berkata, tetapi diamlah dulu sejenak. Apa sukarnya untuk duduk diam dahulu?” Ini sungguh latihan “emotion control” yang baik, karena memang tidak mudah untuk diam sejenak pada saat perasaan di dalam iklim menolak.

Akan tetapi hendaknya waspada, bahwa dalam keadaan yang demikian itu angan-angan (pikiran) kita lupa kepada Tuhan, tetapi sebaliknya mengikuti gejolak nafsu negatif, dan pada umumnya bukan nafsu yang positif yang diikutinya. Sebuah kalimat dalam bahasa Inggris menyatakan: “If you feel displeased, don’t act in the natural way, that is the impulsive way, because usually it is wrong.” Terjemahannya kurang lebih begini: “Jika engkau merasa tidak senang, janganlah berbuat menuruti kebiasaan, yaitu tindakan yang timbul karena desakan kata hati (nafsu), karena biasanya tidak betul”.

Suatu contoh dari “impulsive reaction” ini yang kerap kali kita perbuat dan yang kelihatannya hanya kecil saja, akan tetapi sesungguhnya (karena kita tidak pernah merenungkan akibatnya) ialah kecenderungan untuk mencela, mengeritik, yang jika kita mau merenungkan hal ini sejenak, sebenarnya tidak perlu dan tidak ada gunanya. Akibatnya hanya menyakitkan hati orang lain saja.

Orang lebih senang mendengarkan pujian dari pada celaan. Baik mana, menyenangkan atau menyakitkan hati orang. Jika kita tidak dapat menyampaikan pujian – karena memang tidak menemukan hal-hal yang pantas dipuji – lebih baik kita diam dari pada mencela. Menyenangkan orang lain membuat kita sendiri merasa senang.

Suatu contoh, tanpa kata-kata, tanpa perbuatan yang berat, tanpa membuka dompet kita sudah dapat menyenangkan orang lain yaitu dengan: “Just smile”. Hanya dengan senyuman. Sungguhkah “hanya?” Tidak sebegitu mudah memberi senyuman. Dengarkanlah saudari Sakit Hati berkata, “Bagaimana saya dapat tersenyum kepada Si Lagak Ngenyek, setiap kali berjumpa, hati sudah dongkol.” Kawan saya berkata: “Jangan tersenyum, jika hati mendongkol, nanti senyumnya asam, tidak manis. ”Pokok masalahnya jelas, bukannya senyum semata-mata, akan tetapi pengendalian perasaan, menghilangkan rasa dongkol.

Sebagai manusia yang ingin memiliki jiwa sehat, sekali lagi perlunya ada latihan mengontrol emosi, perlunya kita selalu berusaha, memang perlu ada usaha yang berkesinambungan terus menerus.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap detik kita dihadapkan pada pemilihan untuk menetapkan perbuatan kita selanjutnya; dan pilihan ini menggambarkan iklim jiwa kita. Pilihan itu selalu antara nyata dan bukan, antara benar dan salah, antara baik dan jelek, antara enak dan sakit, antara menguntungkan dan merugikan. Seorang pencuri misalnya, pilihan yang menentukan perbuatannya itu bukannya hal baik atau jelek, akan tetapi semata-mata ditentukan oleh pertimbangan menguntungkan pada waktu itu, dan tidak diperhitungkan apa yang akan terjadi kemudian.

Sekarang, bagaimana kita dapat mengontrol emosi? Mengontrol emosi adalah dengan menumbuhkan sifat sabar, jujur, ikhlas, tawakal dan pengorbanan yang tulus/pengorbanan perasaan. Memang berat untuk berkorban perasaan. Latihan mengontrol emosi membutuhkan pengorbanan dan latihan menimbulkan kebiasaan, lambat-laun akan menjadi watak. Dengan demikian jiwa kita akan menjadi sehat, karena dalam keadaan keseimbangan, tenang dan tenteram.

Di luar kesadaran kita yang terbatas, apakah kita mau atau tidak, di dalam badan manusia berlangsung hidup, yang mengatur fungsi dan pelaksanaan physiologis dari pelbagai sistem dan alat-alat tubuh misalnya: denyut jantung dengan peredaran darah, pencernaan makanan, keluarnya peluh dan suhu badan, pertukaran zat di dalam sel-sel seluruh tubuh, kesemuanya itu berlangsung begitu teratur, harmonis (laras), setiap kali disesuaikan dengan keadaan alam di sekelilingnya, sungguh suatu keajaiban yang tidak dapat ditangkap dengan alam pikiran. Harmony (keselarasan) ini dapat terganggu oleh sikap (iklim jiwa) kita sendiri.

Contoh: jika kita marah, muka kita kelihatan merah, suatu tanda bahwa pembagian darah di dalam tubuh itu terganggu; jika kita merasa takut, kita lantas berdebar-debar, muka pucat, denyut jantung tidak teratur, peredaran darah terganggu bahkan tempo-tempo mengeluarkan air seni dengan sendirinya.

Jika gangguan-gangguan demikian terjadi terus-menerus, tentu akan mempengaruhi kesehatan badan kita, misalnya kita dapat menderita tekanan darah tinggi atau rendah, penyakit-penyakit yang sekarang disebut dengan istilah “psychomasomatic diseases”, yaitu sakitnya badan karena pengaruh jiwa. Lebih sering lagi disebabkan oleh jiwa yang tertekan keluhan-keluhan rasa tidak enak badan, yang “anatomical” dan “fungtional” tidak dapat diketemukan kelainan (penyimpangan) oleh dokter.

Bagi yang menginginkan jiwa sehat dan badan sehat, maka berlatihlah untuk memiliki sifat sabar, jujur, ikhlas, tawakal dan pengorbanan yang tulus dengan didasari kesadaran sebagai hamba Tuhan, percaya pada kekuasaan-Nya dan berusaha taat melaksanakan semua perintah-Nya. Hanya dengan jalan itu manusia dapat memilihara kesehatan jiwanya. Berusaha terus selama hayat dikandung badan, oleh karena tidak ada usaha yang terbuang,tidak ada pengorbanan yang tersia-sia, tidak ada kebaktian yang tidak berharga, tidak ada doa yang tidak diterima. ***

About Unknown

Beritabuzz.blogspot.com merupakan salah satu divisi pengembangan Portal Online Pengetahuan Umum dari Kios Buku Gema (Gemar Membaca)™.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply