SHUTTERSTOCK
Dalam situasi gagal dan terpuruk tak jarang kita melihat ada orang yang menyalahkan kebijakan dan peraturan yang ada, menyalahkan atasan, ataupun situasi monopoli yang dihadapi.
KOMPAS.com - Dunia kita memang penuh ketidakpastian. Seperti halnya cuaca yang belakangan ini sulit ditebak, apakah akan cerah, mendung, hujan, atau badai, sepak terjang dalam dunia ekonomi, bisnis, politik maupun dinamika di tempat kerja pun kerap sulit diramal.
Seorang teman bercerita, ia pernah menghadapi “badai” dalam kariernya. Ketika baru saja dinobatkan sebagai the best employee untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba ia dipanggil oleh atasan dan mendapat vonis yang membuat ia shock, yaitu dibebastugaskan dari posisinya yang sekarang dan diminta standby untuk penugasan berikutnya. Di saat ia berharap diganjar promosi atas prestasinya yang baik, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Di saat rekan lain yang berprestasi mendapat jabatan baru, ia malah merosot. Siapa yang tidak terpuruk menghadapi kenyataan seperti itu?
Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila kita merasa frustrasi. Ada yang mengklaim bahwa mereka sudah lelah dan tidak bisa melihat titik terang lagi. Kita juga bisa saja mencari alasan pembenaran diri atau memilih untuk berhenti dan tidak melakukan sesuatu. Dalam situasi gagal dan terpuruk tak jarang juga kita melihat ada orang yang menyalahkan kebijakan dan peraturan yang ada, menyalahkan atasan, pemegang saham, ataupun situasi monopoli yang dihadapi.
Teman saya yang dijegal kariernya mengatakan bahwa atasan barunya merasa tidak terlalu cocok dengan dirinya. Meski sempat jatuh terpuruk, namun ia kemudian memberi batas waktu pada masa meratapnya. Teman kita ini kemudian berusaha menelaah ke dalam diri pribadinya. “Saya banyak bermawas diri. Saya sadar saya mempunyai beberapa kekuatan, tetapi kelemahan saya pun ada. Mungkin selama ini saya terlalu congkak dan tidak siap menghadapi benturan”, demikian ujarnya.
Ketika 6 bulan kemudian ia diberi penugasan baru, ia sudah siap dengan sikap mental yang lebih rendah hati, tetapi dengan semangat yang berlipat ganda. Sekadar karena ia sudah menggarap dirinya dan siap menggenjot kapasitasnya lagi.
Individu dengan mentalitas seperti teman kita ini, kondisinya bisa kita samakan dengan seekor elang. Pada saat ia merasa bahwa bulu-bulunya tidak kuat lagi, ia akan berdiri tegak di sebuah batu karang, di mana angin bertiup kencang merontokkan bulu-bulunya. Sesudah itu, ia akan bersembunyi di antara batu-batu dan menunggu sampai bulu baru tumbuh kembali.
Terbang “di atas” badai
Badai karier, badai ekonomi, atau badai rumah tangga, bisa dialami siapa saja. Situasi seperti ini pasti tidak disukai oleh kita. Namun, kita bisa belajar dari seekor elang, yang justru bisa memanfaatkan badai. Situasi yang sama ada di dalam filosofi China, di mana kata “krisis” mengandung makna yang sama dengan “kesempatan”. Jadi, badai adalah kesempatan.
Bagi elang, hewan pemangsa berdarah panas yang mempunyai sayap dan tubuh diselubungi bulu pelepah, badai dianggap sebagai "kendaraan" untuk maju. Ia bisa terbang sama cepat dengan badai, sehingga akhirnya angin badai bisa mengusung dirinya untuk terbang lebih tinggi lagi. Di dalam dunia kerja, bisnis dan politik, kita tahu bahwa kemampuan untuk "terbang tinggi" memberi kita kesempatan untuk melihat situasi dari atas, sehingga kita bisa mempunyai visi yang lebih jelas dan kuat.
Tentunya tidak mudah bagi kita mulai mengganti paradigma untuk memandang masalah sebagai titik awal dari suatu kemenangan. Padahal seninya terletak pada pengaturan enerji dan menjaga kestabilan kekuatan, justru pada saat orang lain atau kompetitor sedang kehabisan nafas atau bahkan sudah tidak berniat mengejar lagi. Dari elang, kita bisa belajar untuk mengatur energi dan kewaspadaan kita dalam menghadapi segala situasi, bahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Seekor elang mempunyai hobi terbang tinggi, tidak kenal lelah, tidak pernah menunggu, dan tetap mencari kesempatan. Orang bermental elang adalah orang yang bisa menghempaskan kinerjanya dan memberi kontribusi yang berdampak besar, tidak tanggung-tanggung.
Obsesi pada peluang
Banyak dari kita terbiasa terpaku pada kelemahan diri (weaknesses) atau pada ancaman (threat) yang ada di sekitar kita. Keinginan untuk membuka bisnis baru atau melakukan langkah terobosan tak jarang terhambat karena kita sudah dipenuhi kekhawatiran tidak bisa bersaing dengan kompetitor, kekurangan modal, terhambat oleh policy, atau tidak punya SDM yang handal.
Jadi, kita memang perlu berhati-hati agar tidak berkutat dengan melihat kekurangan demi kekurangan sehingga kemudian merasa lemah dan tidak berdaya. Menganalisis kelemahan dan menghitung risiko memang diperlukan, namun yang lebih penting lagi adalah mengidentifikasi dan memfokuskan kekuatan diri dan peluang yang bisa menghasilkan energi dan daya dorong yang lebih besar bagi diri kita.
Orang dengan mentalitas elang, terobsesi pada kesempatan demi kesempatan yang ada. Ia pun sangat mengandalkan kekuatannya. Bila dulu kita familiar dengan konsep analisa SWOT (Strength – Weakness – Opportunity – Threat), kita juga perlu mulai berlatih untuk berpikir dengan konsep SOAR: Strengths – Opportunity – Aspiration – Result. Konsep yang ditawarkan oleh Stavros, Cooperrider, dan Kelly ini berorientasi “appreciative inquiry”, yaitu menghargai dan menggali hal-hal positif dan kekuatan yang terlihat maupun tersembunyi dalam diri kita. Para ahli ini berpendapat: ”Allow your thoughts to take you to heights of greatness”.
Dengan pola pikir ini, kita mengisi diri kita dengan obsesi terhadap aspirasi dan kesempatan sehingga dengan sendirinya akan membawa kita dipenuhi optimisme untuk terus maju.
Tidak ada komentar