SHUTTERSTOCK
Kepatuhan yang buta bisa sangat berbahaya, demikian menurut Stanley Milgram.
KOMPAS.com - Di saat maraknya perayaan “tujuh-belasan” seperti sekarang ini, melalui media dan dalam pembicaraan sehari-hari, kita senantiasa dibawa untuk mengingat kepahlawanan para pejuang kemerdekaan. Kita pun merasa ini saat yang tepat untuk memikirkan kualitas kepemimpinan. Sayangnya, dalam obrolan mengenai kepemimpinan ini, banyak sekali olok-olok dan cercaan yang muncul, entah itu mengenai karakter, kebijakan, ataupun lemahnya kontrol dari para pemimpin yang menyebabkan perubahan urung terjadi.
Semua orang setuju, bahwa baik-buruknya suatu institusi, perusahaan atau bahkan negara, tergantung dari pemimpinnya. Beberapa orang yang menuding kesalahan dan ketidakefektifan para pemimpin, kerap berteori: “Suasana kepemimpinan di Indonesia masih paternalistik, sehingga peran pemimpin bahkan semakin kuat pengaruhnya”.
Di saat semua mata menyoroti kelemahan para pemimpin, adakah kita juga terlintas untuk mencermati peran para pengikut? Bila dipikir-pikir, bukankah para pengikut yang justru berperan untuk mendukung gerakan dan menjalankan “action” yang distrategikan oleh pemimpin? Mana mungkin seorang pemimpin merealisasikan visi, misi, dan sasarannya, bila pengikutnya tidak menjalankan instruksi sesuai pemikiran, prinsip, passion, dan irama yang diinginkan?
Handry Satriago, Presiden General Electric Indonesia, dalam pidato disertasinya mengatakan pentingnya memahami para pengikut. “Followership studies are still limited and it has important role in the process of leadership formation and can improve performance of the leaders."
Kita sering lupa bahwa, tanpa pengikut, pemimpin tidak ada. Seorang pemimpin baru bisa eksis, bila ada pengikut, meskipun hanya satu orang sekalipun. Perilaku dan sikap pengikut akan menentukan kualitas kepemimpinannya. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan baru efektif bila para pengikutnya patuh penuh pada atasan, tidak suka protes, tidak sering bersuara sumbang? Bukankah duet Soekarno-Hatta, juga konon sering berseberangan prinsip, tidak selalu diwarnai kepatuhan Bung Hatta sebagai bawahan? Bahkan Stanley Milgram, tokoh yang melakukan penelitian psikologi klasik mengenai kepatuhan, menyimpulkan bahwa kepatuhan buta bisa sangat berbahaya. Jadi, bagaimana idealnya peran pengikut yang bisa mendukung suksesnya kepemimpinan dan efektif mendorong perubahan?
Pengikut aktif
Sering kita mendengar cerita mengenai organisasi di mana manajemen menengahnya frustrasi menghadapi manajemen senior yang sulit dipengaruhi untuk pembaharuan organisasi. Anak-anak kemarin sore yang begitu haus inovasi dan ingin mencoba tantangan baru, kerap tidak bisa bergerak karena ide-idenya banyak "dimentahkan" oleh pimpinan organisasi. Para senior yang selalu berpidato mengenai perubahan dan menganggap dirinya "agen perubahan" sering kembali ke praktik-praktik lama yang memang membuat mereka tetap nyaman dan "tidak usah repot-repot". Bahkan, bila di antara kelompok senior ada yang sedikit melawan arus dan membawa misi dari yang muda-muda untuk melakukan perubahan, tidak jarang kemudian si senior tadi dianggap orang yang memang sudah waktunya untuk pergi.
Beginilah alur proses tidak terjadinya inovasi. Para senior berperan sebagai “roadblock", bukan "road" bagi inovasi. Bagaimana tidak, individu yang melawan ditumpas, sementara orang yang menurut akan dipuji dan dianggap potensial. Kita harus sadar bahwa budaya keseragaman, kebiasaan berkelompok ibarat burung yang melakukan perilaku yang sama bisa menyebabkan organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan, tidak inovatif. Apa jadinya kalau semua pengikut hanya bersikap "yes-man" saja? Padahal, dari segi jumlah saja, pengikut pasti sudah memiliki kekuatan pikir yang jauh lebih besar daripada satu orang pemimpin saja. Bukankah akan terjadi kesenjangan komitmen yang memberatkan pemimpin?
Kita tentu harus berhati-hati agar tidak membentuk pengikut atau bawahan yang cuma menunggu perintah dan tidak menggunakan daya pikirnya sendiri untuk memecahkan masalah. Organisasi seperti ini, sangat rentan serangan dan persaingan, karena tidak adanya kekuatan di tubuh organisasinya.
Saat ini, masyarakat kita tampaknya terbiasa menengok “ke atas” terlalu banyak, menumpukan harapan pada pemimpin secara berlebihan. Kita terlalu sibuk mencintai kepemimpinan, sampai tidak mempedulikan kualitas diri kita sebagai pengikut. Bukankah dengan cara ini kita mengakui bahwa kita adalah pengikut yang lemah? Kita kerap lupa melatih diri kita sendiri dan bawahan kita untuk menjadi pengikut yang kuat, yang tidak menurut saja, yang berdiri tegak dan memprotes bila ada praktik yang janggal atau merugikan. Kebiasaan untuk berpikir keras ini seharusnya kita lakukan sejak berada di posisi yang paling bawah sekalipun. Bukankan sebuah "learning organization" hanya dimungkinkan bila seluruh organisasi belajar, mempertanyakan, bersikap kritis dan berpikir aktif?
Followership is leadership
Pemimpin yang jagoan, tentunya sangat mengerti bahwa ia hanya akan survive melalui anak buahnya. Bukan "power over" tetapi lebih "power through" anak buahnya. Dalam keadaan yang semakin kompleks dan membingungkan, pemimpin yang mampu menciptakan suasana terbuka, penuh pendapat dan komunikasi yang jujurlah yang akan mampu menyusun kekuatan, "active engagement" dan enerji dalam kapasitas penuh. Kepemimpinan yang matang mengembangkan bawahan, anggota kelompok ataupun rakyat yang percaya diri, merespek diri dan orang lain, serta jujur secara rasional maupun emosional.
Hanya dengan cara ini, para pengikut bisa memberi kontribusi nyata, memiliki kepemilikan terhadap masalah dan situasi yang terjadi, serta berinisiatif untuk memecahkan masalah. Bukan menjadi pengikut seperti robot. “It may be that we are puppets-puppets controlled by the strings of society. But at least we are puppets with perception, with awareness,” begitu kata Stanley Milgram.
Tidak ada komentar