Oleh M Fuad Nasar MSc
Ilustrasi
Salah satu dimensi yang tidak terpisahkan dari misi profetik Muhammad Rasulullah SAW sebagai pembawa rahmat kepada seluruh alam, ialah ajaran untuk membangun solidaritas antarmanusia. Islam mengokohkan persaudaraan umat manusia sebagai keturunan Adam. Rasulullah menyatakan dalam sebuah Hadis, “Manusia itu semuanya adalah ‘iyalullah (keluarga Allah), dan yang dikasihi Allah adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga Allah itu.” (HR Abu Ya’la).
Ajaran itulah yang melandasi tindakan amirul mukminin Umar bin Khattab ketika menemukan seorang tua jompo peminta-minta dari kalangan dzimmi, yakni non-muslim yang hidup dibawah naungan negara Islam masa itu. Khalifah Umar langsung memberi jatah bantuan biaya hidup dari Baitul Maal kepada orang itu sama seperti yang diberikan kepada penduduk miskin di antara umat Islam.
Ketika ada orang meminta pertolongan atau sedang teraniaya, seorang muslim wajib membantu tanpa memandang suku, bangsa, ataupun agamanya. Tetapi Islam sebagai agama yang sangat menghormati hak asasi manusia, tidak membenarkan tindakan membantu orang lain dikaitkan dengan misi penyebaran agama.
Solidaritas antarmanusia yang diajarkan Islam adalah solidaritas universal yang tidak bertepi. Rasulullah bersabda, “Demi Allah yang diriku dalam kuasa-Nya, kamu tidak akan masuk surga, sebelum kamu beriman. Dan kamu tidak beriman, sebelum kamu cinta mencintai dan sayang menyayangi satu sama lain.” (HR Muslim). “Tidaklah beriman orang yang merasa kenyang sepanjang malam, sedangkan tetangganya menderita kelaparan.” (HR Thabrani).
Islam mengajarkan bahwa harta milik perorangan mempunyai fungsi sosial yang saluran dan mekanismenya telah diatur dengan sebaik-baiknya dalam ketentuan syariah. Jika harta kekayaan telah dijadikan tujuan hidup seseorang atau suatu masyarakat, sesama manusia pun dengan sendirinya akan jatuh menjadi alat bagi sesamanya dan runtuhlah solidaritas kemanusiaan. Dari situlah timbul eksploitasi manusia terhadap manusia lain dengan berbagai bentuk dan cara.
Pandangan hidup materialisme, secara sadar atau tidak, mempengaruhi perilaku manusia, dimana orang lebih menghargai benda daripada hidup manusia. Hubungan antarmanusia pun menjadi longgar dan pragmatis sesuai kepentingan dan bukan karena ketulusan.
Mohammad Natsir menggambarkan tatanan kehidupan sosial yang Islami yakni, “Kehidupan bukanlah perebutan rezeki dan pengaruh, bukan tindasan yang kuat kepada yang lemah, bukan pertentangan yang kaya dengan yang miskin, tapi hidup ialah perlombaan didalam menegakkan sebanyak-banyak kebajikan, untuk manusia. Hidup ialah iman dan amal shaleh, hidup ialah jasa baik yang tidak mengenal mati dan hilang.”
Mengamati berbagai karakter dan perilaku yang muncul di tengah masyarakat belakangan ini, semakin menyadarkan kita terhadap keagungan risalah Nabi Muhammad yang tidak menjadikan persaingan hidup dan perebutan menuntut hak sebagai nafas kehidupan, tetapi mengedepankan perintah untuk berbuat baik (ihsan) dan perlombaan memenuhi kewajiban terhadap sesama. Jika setiap orang telah menunaikan kewajibannya dalam kehidupan bersama, maka semua orang pasti akan mendapatkan haknya.
Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Baznas.
Tidak ada komentar