Oleh EH Kartanegara*)
Bekerja adalah bagian dari ibadah. Ilustrasi
Dalam beberapa pidato yang menggetarkan hati jutaan pendengarnya, Presiden Soekarno beberapa kali menyelipkan petikan ayat suci Alquran. Dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) awal 1960-an, umpamanya, orator ulung itu mengutip penggalan surah ar-Ra'd [13]: 11. "…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri .…"
Maksud Bung Karno kala itu menggemakan semangat bangsa Indonesia lewat forum internasional untuk mengubah keadaan (nasib) menjadi lebih baik di masa depan. Presiden pertama RI itu tidak keliru, karena kata "qowmin" dalam teks aslinya-seperti dikutip Muhammad Abduh dalam Risalatut Taukhid-menyangkut nasib suatu kaum (masyarakat dan bangsa), bukan nasib seseorang.
Entah karena latah atau biar tampak beragama dengan baik dan benar, sampai sekarang pun banyak orang suka mengutip penggalan ayat itu bila bicara tekad untuk mengubah nasib. Tafsirnya pun meniru persis Soekarno-perubahan dari negatif (kurang mampu, miskin, terbelakang) menjadi positif (mampu, modern, maju).
Dalam kasus Indonesia sekarang, tafsir serupa itu justru malah bisa menampakkan kezaliman diri sendiri. Telaah para mufasir klasik tentang penggalan ayat itu mengungkapkan bahwa sesungguhnya "Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum" dari keadaan baik (positif)-seperti telah ditetapkan-Nya-menjadi buruk (negatif). Perkara keadaan kaum itu kemudian menjadi buruk, tentu itu karena kelancangan kaum itu sendiri.
Dalam at-Tafsir al-Muyassar, Dr 'Aidh al-Qarni, seperti juga M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, diuraikan bahwa rahmat, hidayah, dan anugerah dari Tuhan yang semula serbabaik (positif), telah diubah menjadi buruk (negatif) oleh suatu kaum. Tuhan konsisten tidak mengubah nikmat yang diberikan kepada suatu kaum, tetapi kaum itu sendiri yang mengubahnya menjadi niqmat (bencana).
Untuk kasus bangsa kita, misalnya, siapa berani mengatakan bahwa surga dunia ciptaan Tuhan yang bernama Indonesia, yang subur makmur tiada terkira ini, sekarang berubah menjadi berantakan begini bukan karena ulah tangan bangsa Indonesia sendiri?
Kita mengubah anugerah dan nikmat Tuhan menjadi bencana dan laknat. Tuhan memberi kita kesyukuran dan kita membalasnya dengan kekufuran. Tuhan menanamkan iman ke lubuk hati hamba-Nya, kita malah asyik menyekutukan-Nya dengan berhala-berhala hiburan, politik, dan ekonomi.
Sungguh mengerikan kalau masih ada orang yang lantang berpidato: "Karena Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa. Sebagai bangsa, kitalah yang harus mengubah nasib kita sendiri." Naudzubillhi min dzalik.
*) Budayawan, tinggal di Pekalongan
Tidak ada komentar