SHUTTERSTOCK
Mentalitas pemain senantiasa mengambil tanggung jawab baik dalam proses maupun output yang dihasilkan.KOMPAS.com - Merosotnya kinerja di sebuah perusahaan membuat manajemen perusahaan tersebut berteriak-teriak mengimbau karyawan untuk lebih bersatu, lebih mendekatkan hati, dan lebih memperkuat kerjasama dan koordinasi. Para pimpinan menggerutu: “Kenapa sih, orang kok sulit bekerjasama?” Padahal yang berkomentar pun kadang dikomplain oleh bawahannya karena tidak berkomunikasi dan hanya memberi instruksi dari balik meja.
Semua orang seakan sadar bahwa permasalahannya sama sekali tidak berhubungan dengan pengetahuan atau ketrampilan, tetapi lebih pada “Silo Mentality” yang mendorong kelompok bersikap eksklusif, tidak berbagi informasi, bekerja secara isolatif, dan bahkan saling menyalahkan antardepartemen. Kita lihat bahwa selama kelompok dan individu menyuburkan mentalitas yang kontra-produktif, suasana kerja dan kinerja pun sudah pasti mandek, bahkan bisa membawa kehancuran.
Ketika media elektronik mengekspos berbagai kekurangan, penyimpangan dan kelemahan, terkait kondisi politik, moralitas, kepemimpinan atau kemiskinan, kerap kita juga mendengar “mentalitas” atau cara pikir kolektif menjadi salah satu kendala sulitnya mencari jalan keluar atas permasalahan yang ada. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa mentalitas sangat memberi warna pada cara kita menginterpretasi dan merespons situasi yang sedang kita alami.
Di perusahaan, individu yang terbiasa memupuk mentalitas sebagai “korban”, saat tidak mencapai target kerja yang diberikan cenderung akan menyalahkan situasi, mencari-cari alasan pembenaran dan melepas tanggung jawab atas rendahnya kinerja yang dia tunjukkan. Tak jarang, kita mendengar kelakar: “Kumaha juragan waelah…”, saat individu bersikap tidak maju mengambil tanggung jawab.
Padahal, mentalitas terbukti cepat menular. Bila mentalitas korban ini menular ke individu lain kemudian tumbuh subur di dalam tim atau organisasi di organisasi kita, bayangkan betapa sulitnya kita mendorong perbaikan.
Kemajuan teknologi menunjukkan pada kita betapa mentalitas memang bisa dibentuk dan dengan cepat menular. Bukankah iklan-iklan di berbagai media elektronik ampuh memperkuat mentalitas konsumerisme dan keinginan untuk membeli barang, sehingga pikiran kita seolah disetir untuk membeli berbagai barang-barang, bahkan yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan? Pelajaran berharga yang lain, kita peroleh ketika mengetahui penduduk sekampung memusuhi individu yang protes tentang pencontekan masal.
Ternyata, mental yang kuat belum menjadi preferensi untuk bertindak. Semakin cepat kita sadar untuk menumbuhkan dan menularkan mentalitas yang kuat, semakin kita bisa lebih produktif, lebih memiliki daya dobrak untuk kemajuan dan sekaligus lebih happy dengan diri dan lingkungan kita.
Mentalitas “pemain”
Berada di sekitar korban tabrak lari, korban ketidakadilan hukun, korban keteledoran, korban kelambanan penguasa, tentu membuat kita merasa dan membenarkan bahwa memang kita tidak bisa berbuat apa-apa. Otomatis yang kita lakukan adalah mengeluh. Secara fisiologis, orang yang mengeluarkan aura negatif seperti mengeluh dan meratap tidak punya metabolisme untuk mengeluarkan energi, membakar emosi, dan membuatnya bergairah.
Dalam situasi kerja, orang dengan mentalitas korban seperti ini, tidak akan mampu menunjukkan intrapreneruship dan entrepreneurship yang diperlukan untuk mendobrak dan membuat terobosan. Para manager dan pimpinan perlu senantiasa melihat bahwa mentalitas korban ini tidak tumbuh di dalam timnya, sebaliknya secara konsisten memberi contoh untuk membangun “mentalitas pemain”, yang senantiasa mengambil tanggung jawab baik dalam proses maupun output yang dihasilkan.
Dalam sebuah perusahaan yang sedang mengalami penciutan, ada sekelompok orang yang mengeluh karena ketidakbijaksanaan manajemen dan mengungkapkan bahwa mereka hanya menunggu kapan waktu mereka terkena PHK. Padahal bila dipikir lebih jauh, perusahaan yang tetap akan jalan dengan separuh crew-nya tetap membutuhkan pemain yang tangguh, yang bermental baja dan sanggup menjalankan bisnis dengan tenaga dobel. Mengapa bukan kita yang menempatkan diri ke dalam kelompok pemain ini?
Sukses adalah "state of mind”
Sampai saat ini, jarang sekali ada pimpinan perusahaan, atau manajemen yang sangat percaya pada kekuatan hubungan interpersonal dan menumbuhkan potensi tersembunyi dari kekuatan kolektif tersebut dan menterjemahkannya dalam sistim reward yang komprehensif. Di pihak lain, kita sadar juga bahwa teknologi performance management selalu difokuskan pada proses, kinerja individu, bagian, ataupun divisi. Padahal, membangun mentalitas yang produktif juga menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab seorang pemimpin.
Kita memang bisa terlarut pada pemberitaan mengenai utang negara, korupsi, dan curangnya beberapa oknum. Namun, kita perlu sadar agar tidak menjadikan kita terjebak pada perangkap mentalitas tidak berdaya yang bisa menghantui kesuksesan kita. Kita sebenarnya tetap perlu berkaca pada beberapa tokoh yang dengan tenaganya sendiri bisa menjadi multiplier dari nilai tambah yang bisa diupayakan. Kita pun juga masih bisa menemukan orang-orang yang kreatif berburu ide dan kesempatan dan akhirnya bisa mencetak quantum growth untuk perusahaannya.
Hanya dengan keyakinan dan sikap optimis tentang masa depan, serta kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih jauh dan besar ke depan, kita bisa mencetak kesuksesan. Semua bentuk tingkah laku kita digerakkan oleh pola pikir kita. “Everything you think about repeatedly will manifest one day or another. So why not think of what you want, instead of what you don’t want?”
Tidak ada komentar