Oleh Andrias Harefa
Ilustrasi
Kreatif – 1 …berkaitan dengan atau melibatkan imajinasi atau ide-ide orisinil, khususnya dalam memproduksi pekerjaan artistik; 2 … kemampuan untuk menciptakan aneka gagasan, terutama dalam pikiran, imajinasi; 3 … orang (-orang) yang menghasilkan karya-karya; dsb…
Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam artinya yang luas, makna kata ”kerja” dan ”pekerjaan” menunjuk ke hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya manusia itu (mesin/alat/teknologi). Aktivitas-aktivitas itu ada yang bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah, gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal (lembaga non-gelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan di masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati, kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi badai-badai kehidupan.
Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan—dalam arti karier yang menafkahi kehidupan pekerjanya—menjadi lima kelompok besar. Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik, desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua, pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia. Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau eksekutif. Ketiga, pekerjaan entreprener yang terfokus pada upaya menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha (perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha, pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya. Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas, konsultan, dan sebagainya.
Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut di atas, pekerjaan sebagai entreprener adalah jenis yang paling banyak menuntut kreativitas. Sebab entreprener diharapkan untuk melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan sebagai contoh kreativitas kaum entreprener di Indonesia. Dengan kata lain, entreprener dianggap sebagai kaum ”pekerja kreatif” di masyarakat.
Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat ”pekerja kreatif” hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci yang diberi label ”Creative Director”. Selanjutnya, ada pula yang mengaitkan konsep ”pekerja kreatif” ini hanya terbatas kepada para seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan, yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional.
Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entreprener, praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional, pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup mengikuti sistem dan prosedur saja?
Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan, saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif.
Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya dipergunakan untuk mengukur seberapa ”keras” seseorang telah bekerja adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5 sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu kerja normal 40/44 jam seminggu.
Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak disebut sebagai pekerja keras.
Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan ”pekerja kreatif” yang bekerja secara cerdas?
Ada orang yang menggunakan istilah ”Lazy Achiever” untuk menunjuk kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif, sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5 jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu, konsep ”Lazy Achiever” menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah, taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-mana (mobile working tools).
Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan lainnya yang telah dikembangkan secara memadai.
Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?
Tabik Mahardika!
-------------------------
Andrias Harefa, penulis 30 Buku Laris dan Pendiri WRITERSCHOOL
Tidak ada komentar