SHUTTERSTOCK
Agar ide terus mengalir, kita juga perlu mengontrol inner critic kita agar tidak menghambat keluarnya kreativitas.
KOMPAS.com - Keadaan ekonomi yang masih terpuruk, tingkat pengangguran yang masih tinggi, keamanan dan tingkat kejahatan yang tetap marak di sekitar kita, tentu saja kerap membuat kita frustrasi. Mengapa kita begitu sulit keluar dari situasi ini? Masalah yang kita hadapi memang tidak sederhana. Namun, sangat disayangkan melihat kebanyakan kita bersikap helpless, hanya bengong, protes, dan menggantungkan harapan akan datangnya sebuah inspirasi cerdas dari orang pintar dan para pemimpin. Padahal, kita sadar bahwa kreativitas datang dari individu yang menghadapi masalah, menderita karenanya, dan pada akhirnya ingin menciptakan hidup yang lebih baik, sehingga berkreasi.
Banyaknya masalah seharusnya bisa mendorong banyak ide dan solusi kreatif yang membuat hidup jadi lebih baik. Bukankah sebagaian besar dari kita yang sudah mengenyam pendidikan di bangku sekolah sebenarnya mempunyai potensi besar untuk berpikir dan melakukan problem solving?
Masihkah kita punya pandangan bahwa kreativitas adalah semata area anak muda, pencipta lagu, artis, divisi riset, ataupun para penemu teknologi baru? Kita seolah-olah bersikap sebagai “pelanggan” yang menunggu diciptakannya produk dan solusi baru oleh orang lain. Semangat kita bukan mencipta, tapi hanya mengonsumsi. Kalau kita sekadar konsumen, siapa yang membuat terobosan? Kalau kita sekadar rakyat siapa yang menjadi pemimpin? Maukah kita terseret arus menjadikan diri konsumen besar daripada menjadi kreator? Tanpa kita sadari bahaya status quo ini kita ciptakan sendiri. Kreativitas tidak selalu berarti terobosan besar, namun mencakup kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Misalnya: bagaimana menembus pasar yang besar dengan salesman yang terbatas? Bagaimana menghadapi kemacetan tanpa stres? Bagaimana hidup nyaman dengan penghasilan pas-pasan? Bagaimana mengelola dokumen yang menumpuk sehingga mudah ditemukan? Dan, bagaimana mencapai sasaran hidup dengan efektif, efisien, tanpa melakukan korupsi atau tindakan yang tidak etis?
Kreativitas bukan tempelan
Ketika akan meniti suatu jembatan kecil untuk menaiki sampan, saya ragu-ragu karena titian jembatan yang sungguh kecil. Dalam keragu-raguan ini, datanglah dua anak kecil dengan batang bambu yang panjang, dan langsung menjunjung tinggi bambu tersebut sehingga bisa difungsikan sebagai pegangan sepanjang jembatan. Bukankah ini kreativitas yang sangat sederhana? Kita lihat bahwa dalam jiwa anak-anak yang polos ini tersedia ruang dan keyakinan bahwa solusi selalu tersedia. Namun, mengapa di masyarakat modern dengan kecanggihan teknologi mutakhir begini, justru kita tidak memelihara kualitas dan keyakinan “can do” yang demikian? Ide pasti muncul dalam pikiran kita, dan kita pulalah yang berusaha mengeremnya. Kita akan membiarkan ide mengalir hanya bila kita meyakini bahwa ide yang muncul itu bermanfaat.
Ide bisa muncul kapan saja dan dimana saja. Ide bisa datang saat kita berenang, di kamar mandi, ataupun pada saat sibuk-sibuknya menghadapi klien. Individu yang berkawan dengan ide akan menghargai ide-idenya, membuat catatan serta mengujicobakan idenya sebagai penyelesaian masalah. Agar ide terus mengalir, kita juga perlu mengontrol inner critic kita agar tidak menghambat keluarnya kreativitas. Takut salah, takut risiko, tidak mau kecewa dan ragu untuk mencoba, sering membawa kita kembali ke posisi nol, tidak berubah. Sebaliknya, semakin kita berpikir kita kreatif, semakin kreatiflah kita.. Semakin ide sering mengalir, semakin tidak perlu kita untuk ngotot dan berpikir keras. Ini sama saja dengan hukum fisika, di mana memulai suatu gerakan lebih sulit daripada bila gerakan tersebut sudah berjalan.
Seorang teman dengan bangga mengatakan: “Saya senang ide baru”. Meskipun penuh ide baru, namun sayangnya ia seringkali tidak menuntaskannya sampai bermanfaat untuk memperbaiki cara kerja. Ide yang masih mentah ini pun akhirnya tidak sampai bisa menghasilkan keuntungan lebih. Ide saja tanpa dibarengi follow up berupa pencarian fakta dan riset mendalam juga tidak berguna. Ide akan bertahan sebagai wacana saja. Kegiatan otak maupun kinerja individu perlu merupakan switching dari berpikir melebar, kemudian eksak, lalu setelah itu melebar lagi. Inilah yang harus menjadi habit setiap orang. Kreativitas bukanlah fungsi istimewa dari otak, melainkan pembiasaan kerja otak sehari-hari. Hal yang penting adalah menjaga mood yang aktif, senantiasa berpikir mengolah informasi, bermotivasi terbuka, dan happy.
Kreativitas sebagai prioritas
Kalau kita setuju bahwa kreativitas terancam, apakah kita akan membiarkan menyerahkan pekerjaan sulit hanya pada yang berwenang, atau "ahlinya"? Perusahaan seperti Xerox, Pixar, Google, dan Apple, bukanlah perusahaan di mana sekelompok orang pandai menjadi otak perusahaan. Seluruh karyawan sangat paham bahwa berpikir kreatif adalah detak jantung perusahaan, semua orang mengonsumsi informasi sebagai gizi vital perusahaan dan berusaha mengombinasi, mengintegrasi, dan mengaitkan ide menjadi ide baru yang akan membuat perusahaan lebih maju lagi. Kreativitas dianggap sebagai aktivitas yang revolusioner, sehingga setiap orang berpikir ke depan, sibuk memanfaatkan riset data dan pendapat orang pintar lainnya.
Kreativitas sama sekali bukan berpikir nyeleneh atau orisinal saja. Kreativitas adalah keyakinan dan kemauan untuk terus-menerus untuk mendapatkan solusi agar hidup kita jadi lebih baik. Dengan optimisme bahwa kita bisa menjadi bangsa yang kreatif, kita bisa memupuk rasa ingin tahu, sikap positif, bahkan tertantang dalam melihat masalah. Sudah waktunya setiap individu, tim, organisasi, bahkan negara, mendorong kreativitas sebagai prioritas utama. Bukan sekadar produksi atau karya cipta artis saja, tetapi dihasilkan di setiap rumah tangga.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Tidak ada komentar