KOMPAS/DEDI MUHTADI
Suasana Kampung Adat Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Medio Mei silam, Cahya (35), seorang pemandu wisata Kampung Naga, sebuah kampung adat tradisional di Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menawarkan buah kopi matang kepada rombongan turis asal Jerman. Satu-dua turis mencoba mencicipi buah itu. Sementara Cahya terus ”nyerocos” menerangkan berbagai hal, mulai dari ragam tanaman kopi hingga kandang domba di kampung Kecamatan Salawu itu.
Itulah kebiasaan turis asing yang tiap hari mengunjungi Kampung Naga. Begitu turun dari bus yang diparkir di terminal di pinggir jalan raya Garut-Tasikmalaya, mereka tidak langsung berjalan menuju kampung. Sambil berjalan, mereka mampir sana mampir sini, foto sana foto sini, dengan telinga siaga mendengarkan penjelasan pemandu wisata.
Untuk mencapai kampung ini, kita harus menuruni tangga yang sudah ditembok sepanjang 500 meter dan lebar 2 meter karena kampung ini diapit perbukitan dataran tinggi yang membujur dari timur ke barat. Perbukitan itu terletak di hulu Sungai Ciwulan.
Kampung adat tradisional Naga terletak 500 meter di bawah jalan provinsi Tasikmalaya-Bandung lewat Garut atau 30 kilometer arah barat Kota Tasikmalaya. Kampung Naga bisa dicapai dengan kendaraan umum dari Bandung, Garut, atau Tasikmalaya.
”Tiap hari, rata-rata 20-an turis asing berkunjung ke kampung kami. Adakalanya empat bus sekaligus tiba di Naga,” ujar Tatang Sutisna (45), warga Naga yang juga penasihat para pemandu wisata. Selain berolahraga, naik turun tangga yang kemiringannya bervariasi hingga 60 derajat itu merupakan ”atraksi wisata” menyaksikan alam asli Tatar Sunda.
Kampung Naga memang tidak menyediakan atraksi wisata khusus, seperti pergelaran seni. Kalaupun ada, itu hanya kebetulan untuk warga Naga dan tidak disediakan untuk wisatawan. Seperti pada Jumat pertengahan bulan ini, di tempat parkir kebetulan ada orkes dangdut dan jaipongan untuk merayakan khitanan massal. Beberapa pengunjung pun diajak berjoget karena warga Naga tidak asing dengan para turis bule.
Para turis yang berkunjung ke Kampung Naga pada umumnya ingin menikmati kehidupan adat tradisional yang serasi dengan keaslian alam di perbukitan dan hulu sungai. Tradisi adat bisa dilihat dari rumah adat Naga yang berbentuk rumah panggung berdinding bambu (seseg).
Atap terbuat dari ijuk karena genteng tidak diperbolehkan oleh karuhun (leluhur) Naga. Ukuran semua rumah sama, yakni 5 meter x 8 meter, menghadap dua arah, ke selatan dan utara. Bentuk atap semuanya dua arah, tidak boleh ada yang tiga arah (jure). Ini merupakan salah satu sisi kehidupan warga Naga dalam menjalankan titah karuhun, yakni ulah pagirang-girang tampian (jangan berlomba). Falsafah hidup lain yang kini tetap dijalankan warga adalah bersifat damai dan menjauhi perselisihan.
Turis Jerman
Selama ini, sebagian besar rombongan wisatawan mancanegara yang datang ke Kampung Naga adalah turis dari Jerman. Hal ini terkait dengan minat perjalanan warga Jerman ke negara lain yang tercatat paling tinggi daripada negara Eropa lain. Tahun depan, Indonesia akan menjadi negara mitra resmi bursa pariwisata internasional tahunan Internationale Tourismus Borse Berlin, Jerman.
Kembali ke Kampung Naga, kokolot atau juru kunci (kuncen) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi kokolot ini antara lain mengatur upacara adat. Kehidupan sehari-hari, terutama pada bulan-bulan tertentu, diisi dengan upacara tradisional. Upacara terbesar dilakukan sewindu sekali, jatuh pada tahun Alip, bertepatan dengan tanggal 13-14 Maulud tahun Hijriah. Upacara ini melaksanakan pedaran, yakni mengungkap sejarah Naga, yang diikuti seluruh warga Naga.
Karena masih mempertahankan adat, sepintas kondisi sosial ekonomi seakan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kampung sekitarnya. Padahal, kalau dilihat dari sisi lain, penduduk Naga hidup mandiri, kreatif, dan pantang minta-minta. Selain pertanian, untuk penghidupan, mereka membuat berbagai kerajinan dari bambu, mulai dari topi anyaman bambu hingga seruling.
Barang-barang itu dijajakan di koperasi dan ada yang sudah diekspor. ”Hingga kini, warga Naga tetap menolak elpiji dan menggunakan minyak tanah karena tidak boleh menggunakan kayu bakar,” ujar Entin Suhertini (41), karyawan Koperasi Warga Naga.
Selain menjual minyak tanah yang dijatah 5.000 liter per lima bulan untuk Kampung Naga, koperasi itu juga menjalankan simpan pinjam. Namun, usaha simpan pinjam tidak terlalu berkembang karena warga Naga lebih banyak menabung ketimbang meminjam. ”Dari sekitar 90 anggota kami, yang meminjam paling banyak 39 orang, selebihnya menabung di koperasi,” ujar Entin.
Letak Kampung Naga diapit dua penggal hutan, yakni Hutan Biuk atau dikenal sebagai Leuweung Naga seluas 1,5 hektar dan Hutan Karamat Naga seluas 2 hektar. Kedua hutan itu dikeramatkan sehingga tidak boleh sembarang orang masuk. Siapa saja yang berani masuk hutan itu bakal kualat dan semua keturunan Naga percaya, kalau melanggar aturan karuhun, hidupnya tidak bakal selamat.
Karena itu, kedua hutan itu hingga kini tetap lestari. Apa yang terkandung dalam aturan karuhun sebenarnya merupakan nilai-nilai luhur pelestarian kawasan hutan di daerah aliran sungai. Sebelum isu kerusakan lingkungan merebak dan merobek kehidupan modern, warga Naga yang dianggap tradisional sudah lebih dulu melaksanakan upaya pelestarian lingkungan.
Bagi bangsa modern, tata acara adat Naga yang selaras dengan alam merupakan dambaan kehidupan masa depan. (Dedi Muhtadi)
Tidak ada komentar