Kesultanan Banten
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Fakhruddin
Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional, sehingga perekonomian kesultanan itu maju pesat.
Wilayah kekuasaannya pun semakin meluas, meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan negara-negara lain melalui jalur laut. Pengiriman pejabat ke berbagai negara seringkali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah masa keemasan Kesultanan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat mengirimkan dua orang utusannya ke Inggris sebagai duta besar yang ditugasi juga membeli senjata. Selain itu, sultan menggalang hubungan baik dengan Aceh, Makassar, India, Mongol, Turki, dan Arab.
Para penguasa Banten yang pergi ke Arab untuk menunaikan haji dan ke Inggris untuk menunaikan tugas sebagai utusan, menggunakan kapal milik pedagang Inggris.
Sebagai sultan ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa, tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.
Pada 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Setahun kemudian, Belanda menawarkan perjanjian damai. Lantaran perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sultan Banten menolaknya. Pada 1580 meletuslah perang besar antara Banten dan Belanda.
Perang itu berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata. Sultan Ageng Tirtayasa memiliki putra mahkota yang bernama Abdul Kohar. Ia diangkat menjadi putra mahkota pada tanggal 16 Februari 1671 dengan gelar Sunan Abu'n Nasr Abdul Kohar yang dikenal sebagai Sultan Haji.
Putra mahkota inilah yang menjadi jalan bagi Belanda untuk mengadu domba sultan dengan putranya sendiri. Sultan Haji menginginkan perdamaian dengan Belanda dengan mengirimkan surat pada 1680 dan menyatakan bahwa ia adalah penguasa Banten sepenuhnya, bukan lagi Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu Surosowan tempat Sultan Haji berkedudukan. Serangan tersebut berhasil, namun kemudian Surosowan direbut oleh Belanda di bawah pimpinan Kapten Tack. Pemerintahan Banten selanjutnya dipegang oleh Sultan Haji.
Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya, akibat campur tangan dari Belanda. Sejak saat itu terjadi gonta-ganti sultan dan Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran.
Puncak kehancuran terjadi pada masa Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Muhammad Syarifuddin. Ia dipaksa turun tahta dan Kesultanan Banten dihapus oleh pemerintahan Inggris yang menggantikan Belanda di Banten di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles. Sejak itulah Kesultanan Banten hilang dan hanya meninggalkan jejaknya.
Tidak ada komentar