Pesta Kesenian Bali. Beberapa seniman membawakan Tari Legong dalam Parade Pesta Kesenian Bali ke-34 di Denpasar, Bali, Minggu (10/6). Festival tahunan bidang seni budaya itu berlangsung 10 Juni-9 Juli 2012 yang melibatkan sekitar 15 ribu seniman dari seluruh Bali, 18 tim kesenian dari seluruh tanah air dan 6 grup kesenian dari 4 negara sahabat. (FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Denpasar (ANTARA News) - Pembantu Rektor II Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Dr Arya Sugiartha menegaskan bahwa masa keemasan kesenian Bali terjadi pada abad ke-16 berkat Raja Waturenggong saat itu menjadikan seni sebagai alat pemersatu.
"Seni dianggap memiliki kekuatan magis simpatis untuk menambah legitimasi raja sebagai penguasa Bali yang cemerlang," katanya dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis IX dan wisuda sarjana seni X lembaga pendidikan tinggi seni tersebut, Sabtu.
Khusus di Jawa dan Bali, katanya, setiap kerajaan memiliki sekelompok seniman yang hidup dan kariernya ditunjang oleh raja.
Bahkan, di Yogyakarta sampai sebelum Perang Dunia II ada seorang penari yang baik yang bisa mendapatkan kedudukan sebagai kanjeng dengan gaji yang cukup besar, fasilitas mewah berupa rumah besar, dan kereta berkuda.
Mengutip hasil penelitian tentang seni pertunjukan di Asia Tenggara yang dilakukan James R. Brandon, Arya Sugiartha menyebutkan ada tiga lembaga yang membiayai pertunjukan tradisi, yaitu negara/pemerintah, penonton dan komunitas atau masyarakat.
Seni pertunjukan yang mendapat dukungan dari negara dulu terdapat di negara-negara kerajaan, seperti Myanmar, Thailand, Laos dan Indonesia, terutama di Jawa dan Bali.
Bahkan tidak jarang seniman-seniman kerajaan dijadikan menantu atau dinikahkan dengan putra dan putri Sultan.
Di Bali, pada zaman kerajaan, kehidupan seni dan senimannya ditopang oleh raja, sehingga banyak seniman Bali diberi gelar kehormatan disertai dengan penghasilan yang layak.
Raja sebagai satu-satunya yang bertangung jawab terhadap kelestarian seni budaya itu merasa terhormat, jika mampu memelihara berbagai bentuk kesenian serta memberi penghidupan bagi senimannya.
Ia menambahkan, seni pertunjukan komersial dibiayai oleh penonton atau penikmat seni.
Di Bali, seni pertunjukan komersial sudah ada sejak tahun 1920-an, bahkan pada tanggal 23 dan 25 Mei 1925 di Singaraja dan Denpasar berlangsung pementasan komedi stambul, gimnastik, musik, dan silat, dalam rangka penggalian dana untuk beasiswa bagi remaja Bali yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah ke Jawa.
"Penontonnya adalah pegawai birokrasi Belanda, warga keturunan China, dan penduduk setempat. Para penonton selain dipungut bayaran dalam bentuk karcis dan juga diminta sumbangan sukarela," katanya.
Seni pertunjukan tradisional Bali yang cara pembiayaannya dapat disebut komersial dengan salah satu indikasinya masih diterapkan hingga sekarang adalah Drama Gong.
Kesenian drama gong biasanya melakukan pementasan ke desa-desa di seluruh Bali dan ongkos produksi ditanggung oleh masyarakat dengan cara penjualan karcis. (I006/E011)
Tidak ada komentar