BANDUNG, (PRLM).- Mendengarkan musik country, ingatan orang langsung tertuju ke daerah koboy di Amerika. Mengapa tidak, musik keroncong didorong menjadi musik dunia yang bisa dimainkan di mana-mana sehingga menjadi identifikasi dari Indonesia. Dengan semangat nasionalisme itu, Indonesia bisa dikenal sebagai negara yang berbudaya.
Gagasan tersebut ialah visi sekaligus mimpi yang terpatri dalam orkes keroncong Jempol Jenthik. Pemimpinnya, Adi B Wiratmo, menjelaskan hal itu seusai Jempol Jenthik manggung dalam acara “Festival Media” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Sabtu (15/9/12) sore.
Adi menuturkan, penamaan Jempol Jenthik didasarkan oleh filosofi bahwa jempol adalah ibu jari atau jari terbesar dalam jemari, sedangkan jenthik bermakna kelingking atau jari terkecil. Adi berharap, Jempol Jenthik bisa berkontribusi untuk mencapai sesuatu yang besar dengan melakukan hal yang kecil, seperti bermain musik keroncong.
Selain Adi (bas), personel Jempol Jenthik yang lain ialah Lala (vokal), Dina (vokal), Irsha (vokal), Dedi (cello), Riki (gitar), Wiwid (cuk), Gunadi (cak), Satoto (biola), Didik (biola), Dudi (flute), dan Bagyo (flute). Masing-masing alat musik memiliki karakter masing-masing, itulah yang membuat orkes keroncong lebih menarik.
“Awalnya sekitar tahun 2005, saya tertarik dengan pukulan cello waktu mendengarkan lagunya Waljinah. Cello itu kalau di musik klasik barat dimainkan dengan cara digesek, nah ini dipetik secara terus-menerus. Dari situ saya mengajak teman-teman waktu kuliah dulu. Kami membeli alatnya di Solo, baru kemudian membentuk grup,” kata Adi.
Bermodalkan kemampuan bermain gitar, orkes asal Bandung ini melakukan latihan secara tertatih-tatih karena jumlah anggota yang banyak dan jadwal yang sulit dicocokkan. “Pada dasarnya kami senang musik saja, tetapi akhirnya kami kompak membentuk grup keroncong. Kami sampai mencari orang yang bisa melatih, namanya Pak Tatang Mutahari,” paparnya.
Tidak hanya memainkan musik “jadul”, Jempol Jenthik juga mengombinasikan beragam alat musik yang dimainkan dengan lagu-lagu dari berbagai aliran. Supaya keroncong bisa bertahan hidup dan terus berkembang, maka musiknya mesti dikolaborasikan sehingga mampu menarik minat anak-anak muda. Pasalnya, kata Adi, anak muda senang dengan sesuatu yang dinamis, dan keroncong di masa depan ialah keroncong yang dimainkan oleh generasi muda sekarang.
“Karena dulu saya agak susah mencari orang untuk diajak diskusi tentang keroncong, jadinya saya membuat milis di Yahoo. Kami menamainya dengan Komunitas Keroncong Cyber. Selain itu, kami juga membuat kaos untuk mengampanyekan musik keroncong. Kemudian ada buletin gratis untuk disebarkan di kota-kota besar dan luar negeri. Kami pun membikin sanggar untuk anak-anak kecil, namanya Sanggar Tjroeng. Dengan berkembangnya kegiatan, kami akhirnya membuat yayasan juga, Yayasan Keroncong Tjroeng namanya,” ucap Adi.
Adi dan teman-temannya berupaya mendorong perkembangan keroncong dengan menggiatkan jaringan ke luar negeri. Adi berharap, keroncong bisa seperti gamelan yang banyak dipelajari di berbagai perguruan tinggi di luar negeri.
“Keroncong itu bisa hidup bukan hanya karena kreativitas musisinya, tetapi juga perlu diapresiasi oleh masyarakat. Melalui peran media dan pemerintah, sosialisasi keroncong diharapkan bisa lebih baik. Kalau perlu di dunia usaha juga, karena keroncong bisa dilibatkan dalam bisnis wisata. Soalnya, bagaimana pun keroncong itu asli Indonesia,” pesannya. (A-203/A-88)***
Sumber
Tidak ada komentar