Oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab
Jakarta - Karakter berbeda dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat sulit diubah karena ia dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat psikologis. Sedang karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, dia dinamai 'rusyd'. Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa.
Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau
iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu
sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang. Dalam konteks
membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus
disepakati dan dihayati bersama.
Disepakati karena kalau setiap
orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seseorang
perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah
tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolak ukur hubungan antar masyarakat.
Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan
diri yang bersangkutan sendiri. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak
memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita
telah menjadikannya bagaikan mesin bukan lagi manusia yang memiliki
kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita. Manusia harus memiliki pilihan,
tetapi pilihan tersebut bukan pilihan perorang secara individu tetapi
pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat akan secara
kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nilai, dan tolak ukur
moralnya dan hasil pilihan itulah yang dinamai jati diri bangsa.Dengan
demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang
terbentuk melalui proses yang panjang. Memang rumusannya dicetuskan oleh
kearifan the founding fathers bangsa, tetapi itu mereka gali dari
masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri
bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah Pancasila.
Nilai-nilai
yang disepakati itu harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan
nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini. Hanya dengan penghayatan
karakter dapat terbentuk. Sebaliknya,nilai-nilai yang dihayati seseorang
atau satu bangsa dapat dikukur melalui karakternya. Perubahan yang
terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut atas
dasar kesadaran mereka,dan bisa juga karena terperdaya atau lupa oleh
satu dan lain sebab. Begitu pula, bila terdapat hal-hal dalam diri
anggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri dan tujuan itu,
maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi
keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Di
sini terlihat betapa pentingnya melakukan apa yang diistilahkan dengan
"Character and Nation Building".
Masyarakat melakukan hal
tersebut melalui pendidikan. Di sinilah terukur keberhasilan dan
kegagalan pendidikan. Karena itu pula, ukuran keberhasilan lembaga
pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi, bukan saja melalui kedalaman
ilmu dan ketajaman nalar para pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan
emosi dan spiritual sivitas akademikanya. Kecerdasan intelektual jika
tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia dan
kemanusiaan seluruhnya akan terjerumus dalam jurang kebinasaan.
Sebaliknya, jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh kedua kecerdasan
itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan
pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka
buah segar yang bermanfaat bagi diri masyarakat, bahkan kemanusiaan
seluruhnya.
Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari
individu anggota-anggota masyarakatnya, karena masyarakat adalah
kumpulan individu yang hidup di satu tempat dengan nilai-nila yang
merekatkan mereka. Setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya,
lalu masyarakat yang membentuk budaya dan nilai-nilainya yang lahir dari
pilihan dan kesepakatan mereka.
Membentuk karakter individu
bermula dari pemahaman tentang diri sebagai manusia,potensi postif dan
negatifnya, serta tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya,
karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka tentu saja pemahaman tentang hal-hal tersebut harus
bersumber dari ajaran agama (Tuhan Yang Maha Esa).
Untuk
mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan lingkungan yang
kondusif, pelatihan dan pembiasaan, persepsi terhadap pengalaman hidup,
dan lain-lain. Di sisi lain karakter yang baik harus terus diasah dan
diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa
agama, penganugerahan hidayah Tuhan tidak terbatas sebagaimana tidak
bertepinya samudra ilmu, "Tidak menambah hidayahnya bagi orang yang
telah memperolah hidayah", dan Tuhan pun memerintahkan manusia
pilihannya untuk terus memohon tambahan pengetahuan. Praktik ibadah yang
ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik,
tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu dari aneka pengaruh
negatif yang bersumber dari dalam diri manusia dan lingkungan luarnya,
sekaligus ia adalah cara untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik,
yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk meneladani sifat-ifat Tuhan
yang tidak terbatas itu. Karenanya ibadah harus terus berlanjut hingga
akhir hayat, dan ini berarti pembentukan karakter adalah sebuah proses
tanpa henti.
Kalau meruju pada ajaran agama dan keberhasilan para
nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekaian banyak cara yang
mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan mereka. Para
nabi dan penganjur kebaikan di samping menjelaskan dan mengingatkan
tentang baik dan buruk, mereka justru lebih banyak olah jiwa dan
pembiasaan, dengan aneka pengamalan yang kalau perlu pada mulanya
dibuat-buat, bukan oleh dorongan kemunafikan tetapi agar menjadi
kebiasaan dan watak.Mereka juga mengemukakan aneka pengalaman sejarah
masyarakat dan tokoh-tokoh masa lampau. Di samping itu, mereka berusaha
sekuat kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negatif
lingkungan, karena melalui lingkungan watak dapat berubah menjadi
positif atau negatif. Hanya saja, perlu dicatat bahwa pada umumnya
pengaruh negatif lingkungan lebih mudah diserap daripada pengaruh
positifnya. Dan, pendekatan yang mereka lakukan guna menciptakan watak
masyarakat adalah pendekatan buttom-up, yang mereka tularkan kepada
keluarga, lalu sahabat dan handai tolan dalam lingkungan kecil, hingga
seluruh masyarakat. Amin. (rmd/rmd)
Tidak ada komentar