Shuttersctock
Penilaian kita terhadap kekuatan, kelemahan, dan penyebab kegagalan kita,
ternyata berkorelasi rendah dengan penilaian orang lain terhadap diri
kita.
KOMPAS.com - Sungguh tidak mudah untuk memahami
“siapa” sosok seseorang yang sebenarnya, bila kita menyimak profil diri
orang tersebut yang ia tuliskan di data diri akun jejaring sosialnya,
seperti facebook maupun twitter. Banyak orang lebih sering melihat
diskrepansi antara apa yang dituliskan mengenai dirinya dengan keadaan
yang sebenarnya. Ada orang yang melabel dirinya sebagai pakar atau
“master” di bidang ini itu, padahal tidak memiliki pendidikan atau
pengalaman yang mendukung.
Dalam proses seleksi, para rekruter pun kerap kecele karena kesan yang ditangkap dan dituliskan pada resume
jauh berbeda dengan saat individu muncul dalam proses wawancara.
Terlepas dari adanya keinginan seseorang untuk men-"citra"-kan diri,
kekeliruan ini biasanya diawali dari kemampuan orang untuk melihat dua
hal: apa yang ia ketahui tentang dirinya serta pandangan orang mengenai
dirinya.
Seorang teman yang menyatakan keheranannya karena ada
individu yang bisa-bisanya tidak "ngeh" dengan gambaran dirinya yang
sebenarnya. Seolah ada “blindspot” atau “sisi gelap” bagi si
empunya karakter. Ada orang yang sering mengeluarkan kata-kata sarkatis
dan menyerang orang lain, namun ia menganggap itu hal yang sah-sah
saja. Padahal, bagi orang di sekitarnya sikapnya itu sangat mengganggu.
Ada orang yang mengatakan ia ramah dan "sering tersenyum", sementara
orang lain sama sekali tidak menganggap demikian.
Dalam ajang
pencarian bakat, kita melihat ada individu merasa sangat berbakat
menyanyi, padahal suaranya sama sekali tidak merdu didengar. Seringkali
terjadi, individu shock ketika mengetahui pandangan orang mengenai dirinya. Ada yang kemudian mengatakan pemberi masukan sekadar “dislike” atau tidak menyukai dirinya. Ada orang yang bahkan sampai-sampai berkeras mengatakan “I am who I am”
dan kemudian tidak melakukan apa-apa untuk meluruskan diskrepansi yang
ada. Bukankah ini sangat merugikan dan menghambat pengembangan diri
kita?
Sebuah hasil penelitian mengatakan bahwa penilaian kita
terhadap kekuatan, kelemahan, dan penyebab kegagalan kita, ternyata
berkorelasi rendah dengan penilaian orang lain terhadap diri kita yaitu
sekitar .40. Artinya, kita tidak "tahu" tentang diri kita, seperti yang
kita sangka. Di sisi lain, kita semua pasti setuju, bahwa kalau kita
ingin lebih sukses lagi, kita perlu mengenal kekuatan dan kelemahan diri
kita sendiri. Jadi, radar untuk mencari dan mendapatkan penilaian yang
tepat mengenai diri kita perlu kita aktifkan.
Kesalahan terletak di otak kita
Seorang penulis, Sidney J. Harris, pernah mengatakan: “Ninety per cent of the world’s woe comes from people not knowing themselves, their abilities, their frailties, and even their real virtues. Most of us go almost all the way through life as complete strangers to ourselves”.
Gejala “stranger to ourselves”
ini sebetulnya pasti tidak dikehendaki oleh orang yang bersangkutan.
Kesalahan sebetulnya terletak di otak masing-masing individu. Kita tidak
selalu tahu apa yang terjadi dalam pengolahan otak, karena ini terjadi
di luar kesadaran kita. Otak kita, seperti halnya sebuah komputer yang
menganut hukum efisiensi, akan melakukan processing seefisien
mungkin, dan mengikuti hukum prioritas yang ada. Hal-hal yang bisa
diolah segera dan dianggapnya penting, akan diproses, sementara yang
memerlukan processing lebih dalam dan panjang akan masuk dalam “antrean pengerjaan”.
Umpan balik, akan masuk dalam antrian pengerjaan, seperti halnya "post it" yang ditempel di agenda kita. Ada masanya otak kita kemudian menyembunyikan “post-it”
tersebut ke “kolong meja”, yaitu ke area bawah sadar. Dengan begitu,
“kesadaran" otak kita jadi jernih kembali untuk bisa mengolah
tugas-tugas "here and now". Namun, tanpa disadari kita
menyembunyikan fakta penting yang sebetulnya bisa menjawab alasan-alasan
mengapa kita sukses dan mengapa kita gagal.
Ketidak sadaran terhadap diri kita sendiri berkembang secara bertahap dan seorang ahli psikologi menyebutnya sebagai adaptive unconsciousness
yang berkembang dari setiap momen sehari-hari, di samping refleksi diri
dalam kesadaran berpikir kita. Di dalam kehidupan sehari hari kita
tampil sebagai orang yang realistis dan praktis, namun di saat bersamaan
sulit menerima masukan karena tidak adanya ruang yang cukup dalam otak
kita untuk mengolah input. Bila terjadi kegagalan, maka penyebab
kegagalan yang dicari hanya yang terlihat dan teraga saja, seperti
kurangnya persiapan, waktu yang terlalu pendek, ataupun kesalahan orang
lain yang terlibat dalam situasi tersebut. Padahal untuk bisa sukses,
kita perlu betul-betul mencari inti permasalahan yang sebenarnya.
Kita butuh cermin yang jujur
Hal yang paling menguntungkan bagi individu adalah bila dalam perjalanan kariernya ia menemukan “coach" atau "peer" yang tepat, karena penilaian mereka adalah jalan satu-satunya individu bisa mengenal diri secara lebih mendalam. Rekan kerja yang baik tidak akan berorientasi memberi pujian semata, namun akan berkonsentrasi untuk mengoreksi kesalahan. Jadi, kita memang perlu membudayakan “cinta feedback”, agar atasan, para senior, rekan maupun bawahan tidak sungkan untuk mengeluarkan penilaian terhadap kita.
Kita
pun perlu menyadari bahwa mengandalkan penilaian berdasarkan keyakinan
diri sendiri adalah bagian dari kekeraskepalaan yang berbahaya. Manusia
mempunyai “social brain” di mana dia bisa meraba emosi dan
sistem empati orang lain, namun ini tidak bisa dilakukan untuk diri
sendiri. Inilah sebabnya, banyak perusahaan bahkan mengupayakan ajang feedback 360 derajat ini secara kontinyu.
Sementara kita belajar untuk lebih banyak mengundang feedback,
kitapun perlu mengembangkan sikap yang bisa membendung keterasingan
kita terhadap diri kita sendiri. Kita perlu meningkatkan akuntabilitas
dengan cara melihat masalah yang ada sebagai masalah kita, tanpa selalu
mencari kambing hitam atau menyalahkan orang sekitar. Kita pun perlu
mengembangkan karakter yang respectful di mana kita bisa lebih
fokus, lebih mendengar, dan memperhatikan lawan bicara kita. Bila kita
senantiasa mengedepankan sikap objektif, terbuka memberi penilaian dan
berani menyemangati teman untuk "maju", maka paling tidak kita sudah
berbuat amal kepada teman sendiri.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber
Tidak ada komentar