Oleh Gregorius M Finesso
Penghalang kreasi hanyalah kemalasan, batasan inovasi hanyalah langit. Begitu kira-kira prinsip hidup yang dipegang Saroji (47), pria dari Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dengan kegigihan memanfaatkan peluang, dia kenalkan purwaceng, flora khas Dieng, sebagai minuman alami penambah stamina ke seantero Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara.
Medio tahun 1994, Saroji hanyalah penjual tiket obyek wisata di kompleks Candi Arjuna. Kendati telah membudidayakan purwaceng sejak lama, tumbuhan itu hanya diracik untuk keperluan sendiri. ”Paling-paling buat tetangga atau saudara yang mau meminumnya,” ujar warga Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, itu, Selasa (29/5/2012).
Dari mulut ke mulut makin banyak orang tertarik meminum purwaceng racikan Saroji. Terlebih setelah mengetahui khasiatnya yang membuat tubuh segar dan hangat. Akhirnya, purwaceng racikannya mulai didengar sejumlah wisatawan. Mereka mendatangi rumah Saroji hanya untuk meminum purwaceng.
Ide usaha pun muncul. Tahun 2004, pria yang juga karyawan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dieng pada Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Banjarnegara itu, mulai menggarap komoditas purwaceng lebih serius. Modal awal Rp 5 juta disiapkan.
Saroji memulai dengan mengolah serbat purwaceng. Kendati demikian, mengembangkan tanaman purwaceng tidaklah mudah. Kesulitan menghadang sejak proses penanaman.
Purwaceng (Pimpinella alpina), yang awalnya hanya dikenal masyarakat sebagai tumbuhan liar di Gunung Perahu dan Gunung Pakujiwo di Dataran Tinggi Dieng ini, tergolong ”rewel” memilih habitat untuk tumbuh kembang. Tumbuhan ini juga tak dapat ditanam di sembarang lokasi di hamparan Dataran Tinggi Dieng yang diketahui merupakan daerah asalnya.
Dari sejak ditanam hingga bisa dipanen, purwaceng butuh waktu sekitar dua tahun. Bila sudah dua tahun, akarnya akan berwarna kuning. Selain itu, tanaman yang diyakini berkhasiat menambah vitalitas pria dewasa ini tidak membutuhkan pupuk kimia.
”Pernah ada petani menanam purwaceng dengan pupuk kimia, tetapi menyebabkan rasanya jadi pahit. Selain itu, purwaceng olahan saya juga tanpa bahan pengawet. Murni produk herbal,” ujar Saroji, yang sering mewakili Kabupaten Banjarnegara ke sejumlah pameran berskala nasional dan regional.
Setelah dipanen, batang dan akar purwaceng dicuci bersih dan kemudian dijemur. Batang dan akar tadi yang kering ditumbuk halus hingga seperti tepung. Awalnya, pengolahan ini menjadi proses yang melelahkan dan menyita waktu. Semua dikerjakan Saroji bersama Sulastri (44), istrinya.
”Untuk menambah rasa, atas saran istri, ditambahkan bubuk kopi, teh, atau susu. Ternyata, konsumen semakin menyukainya,” ujar Saroji.
Sporadis ke wisatawan
Untuk pemasaran, awalnya Saroji hanya menjual serbuk purwaceng yang dikemas sederhana ini secara sporadis kepada wisatawan di Dieng. Saroji mengenang, dia bisa menawarkan serbuk purwaceng hingga malam hari. Mulai dari kompleks candi sampai mendatangi losmen dan penginapan para turis.
Minim pendidikan formal tak menyurutkan Saroji belajar pemasaran. Dia kemudian menempuh metode pemasaran berjaringan. Saroji menjalin kerja sama dengan sejumlah agen wisata dan pemerintah setempat. Alhasil, kios purwaceng Saroji di kompleks Candi Arjuna menjadi salah satu destinasi wajib wisatawan. Produknya pun diakui menjadi salah satu oleh-oleh khas Dieng.
Konsep ini terbukti ampuh menjaring konsumen. Seiring meningkatnya pesanan, Saroji mulai merekrut karyawan untuk produk purwaceng yang diberi label Tri Sakti. Tak hanya di bagian pengemasan dan pemasaran, Saroji juga memberdayakan sejumlah petani Dieng untuk menanam purwaceng. Hasilnya diserap industri rumahan milik Saroji.
Saroji kini dibantu 12 karyawan memproduksi purwaceng dalam berbagai kemasan. Akar purwaceng dalam botol dijual Rp 25.000 per botol. Untuk kemasan serbuk tersedia dalam kemasan sachet berbagai aroma serta botol. Untuk satu sachet dengan pilihan aroma teh, kopi, dan susu dijual dalam dos berisi 6 sachet Rp 25.000 per dos. Serbuk purwaceng murni tanpa rasa Rp 125.000 per botol.
Saroji mengolah 5 kilogram purwaceng per bulan yang menghasilkan 10.000 kemasan kecil siap seduh. Produksi dilakukan seminggu sekali. Produk dikirim ke Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. Selain itu. produk Tri Sakti pun sudah melanglang buana hingga Jerman, Italia, dan Belanda.
”Kebanyakan pemesan luar negeri adalah wisatawan yang pernah ke Dieng dan merasakan khasiat purwaceng. Pesanannya bisa berdos-dos. Saya biasa menitipkan melalui agen-agen travel,” ujar Saroji yang omzet penjualannya kini sekitar Rp 75 juta per bulan.
Supaya lebih representatif, Saroji membangun toko sekaligus tempat kerja di tepi jalan utama di sekitar kompleks Candi Arjuna Dieng. Di tempat itu, wisatawan dimungkinkan menyaksikan proses peracikan purwaceng dari awal hingga selesai.
Keberhasilan semacam ini tak lantas menghentikan ide inovasi ayah empat anak ini. Saroji masih menyimpan asa menyempurnakan kualitas kemasannya supaya setara dengan kemasan kopi instan yang banyak di pasaran saat ini agar lebih marketable kendati dia sadar butuh modal yang tak kecil untuk membeli mesin pengemasan seperti itu.
Lewat tangan dingin Saroji, Purwaceng yang awalnya hanya dianggap tanaman liar itu pun naik kasta menjadi salah satu ikon wisata Dataran Tinggi Dieng. Dia yakin, suatu saat gengsi tanaman ini akan dikenal di mancanegara sebagai ”ginseng”-nya Indonesia. ”Gingseng” ala Indonesia.
Sumber
Sumber
Tidak ada komentar