KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Menenun menjadi salah satu aktivitas warga di kompleks Desa Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, sehari-hari. Kain Geringsing yang menjadi identitas Pegringsingan, tak hanya mengangkat pamor tradisi lokal namun juga menjadi simbol kekayaan nusantara.
TENGANAN, KOMPAS.com - Kain tenun tradisional Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, cukup terkenal hingga ke mancanegara. Wisatawan yang datang ke Karangasem, selalu menyempatkan diri mencari tenun tradisional khas Bali tersebut.
Seorang penenun, Ni Komang Sukmawati, menuturkan sejak remaja dirinya sudah biasa melakoni pekerjaan tersebut. Menurut perempuan asli Desa Tenganan Pegringsingan ini biasa menenun sepulang sekolah sejak duduk di bangku SMP. Namun waktu itu ia mengaku, belum fokus untuk menenun, hanya sekadar membantu usaha orang tuanya.
Di samping itu, menurut ibu dua anak ini, remaja Tenganan harus mampu menenun, karena saat upacara memasuki usia remaja, ada prosesi menenun yang harus didemontrasikan ke warga desa.
Tak banyak warga Tenganan yang melanjutkan studinya ke luar Karangasem. Namun, Sukmawati tertarik hijrah ke Kota Denpasar. Ia memilih jurusan Sastra Inggris di Universitas Warmadewa.
Namun, studinya terputus hanya sampai semester enam. Sukmawati keburu menikah dengan seorang laki-laki yang juga asli Desa Tenganan Pegringsingan.
Sejak itu, dia tidak punya ambisi apa-apa. Sebagai warga inti Desa Tenganan, Sukmawati tidak boleh terlalu banyak fokus berkarier. Hanya usaha menenun yang akhirnya menghidupi keluarganya.
"Tiyang (saya) tidak boleh terlalu terikat, karena sebagai warga inti saat upacara adat, kami harus ngayah (kerja sosial). Waktunya juga sampai larut sehingga kami harus benar-benar fokus," katanya.
Selama satu bulan, ada waktu-waktu tertentu upacara adat di Desa Tenganan. Walaupun beban tanggung jawab begitu berat dilimpahkan ke warga asli, menurut Sukmawati, desa juga memberi kontribusi besar kepada warganya. Tiap bulan, ada pembagian beras dan uang kepada warga inti.
"Pembagian ini hanya diberikan kepada warga inti. Sedangkan yang menikah ke luar dan tinggal di luar Tenganan, tidak mendapatkan hak yang sama," katanya sembari membentangkan benang di atas alat tenun tersebut.
Ia mengatakan, kain pengringsingan yang dibuatnya, terbagi menjadi "single ikat dan double ikat". Untuk busana laki-laki membutuhkan "saput" dengan lebar 24 centimeter (cm) sebanyak dua lembar.
Sedangkan, busana perempuan memerlukan kain selembar 40 cm. Untuk selendang atau disebut single ikat lebarnya 20 cm. Sukmawati biasanya menyelesaikan satu kain sekitar dua pekan, jika ia tak sibuk ngayah untuk adat. "Saya banyak ngayah bulan ini, mungkin kain ini bisa selesai satu bulan ke depan," ucap Sukmawati sembari menunjukkan kain yang ditenunnya itu.
Ia menjelaskan, mulai dari pewarnaan sampai menjadi benang yang siap dipakai untuk menenun, memerlukan waktu dua tahun, dengan corak warna hitam, merah, cokelat.
Sejak pemerintah gencar mempromosikan Desa Tenganan, baik lewat media, banyak tamu lokal maupun asing ramai datang ke Tenganan. Apalagi pada bulan Agustus dan Desember, banyak tamu asing yang datang.
Namun, menurut Sukmawati, tiap hari ada saja tamu lokal yang datang ke Desa Tenganan. Untuk satu kain, ia menjual seharga Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Uniknya, di Desa Tenganan, rumah penduduk langsung menjadi tempat pajangan kain Pegringsingan. Saat masuk, pengunjung langsung dapat melihat kain digantung di pintu masuk.
Peluang ekspor
Peluang ekspor kain tenun tradisional Indonesia, salah satunya tenun Pengringsingan untuk pangsa pasar ke negara Jepang sangat terbuka, karena masyarakatnya suka dengan motif etnik dan alami. "Masyarakat Jepang pada umumnya menyukai motif-motif etnik dan alami untuk busana, menataan ruang atau pun kamar tidur mereka," kata Pakar Tenun Tradisional Indonesia, Tria Basuki.
Ia mengatakan, tenun tradisional yang di ekspor itu adalah produk tenun dengan menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin). Artinya pengerjaannya tetap dikerjakan oleh perajin secara konvensional. "Saat ini yang sudah laku di pasar ekspor khususnya Jepang dan Eropa adalah produksi tenun tradisional dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali," kata wanita kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.
Sumber
Tidak ada komentar