Oleh Gatot Arifianto
Sejumlah pelajar selonjor dan menggunakan satu jempol kakinya untuk menahan beberapa benang yang selanjutnya mereka anyam dengan tangan.
Mangka’bi, demikian teknik tersebut, ialah cara mengepang benang dalam tenun Tana Toraja yang "diperkenalkan" antropolog Jepang, Keiko Kusakabe.
"Awal mengerti cara tersebut ialah saat yang bersangkutan membuat pelatihan mangka’bi, karena itu, anak-anak atau pengunjung yang mau mencoba kami ajari," ujar staf Bagian Pameran dan Edukasi Museum Tekstil Jakarta, Sari Permana, di sela perhelatan "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang berlangsung di Museum Negeri Ruwai Jurai, Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung.
Di Lampung yang menjadi tuan rumah acara tersebut, kondisi sebagaimana terjadi pada mangka’bi juga terjadi pada kain tenun tradisional Lampung, yakni tapis bidak galah napuh yang dikonservasi sekitar 10 tahun lalu oleh Raswan Tapis, alumnus Fakultas Bahasa dan Seni Unila 1990 yang konsen terhadap kain tapis.
Menurut Raswan, rujukan konservasi bidak galah napuh ialah buku-buku dan barang-barang kuno milik orang asing. Sementara eksekusi rekonstruksinya melewati percobaan demi percobaan. "Supaya komposisi dan bentuk aslinya tidak hilang," kata Raswan menjelaskan.
Menunggu Kebangkitan Tenun Tradisional
"Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang merupakan bagian "Festival Krakatau XXII" terbukti ampuh membuat Museum Negeri Ruwai Jurai yang biasanya lengang menjadi penuh orang dalam beberapa siang.
Di sela acara pembukaan, puluhan pelajar terlihat khusyuk mengikuti lomba menyulam tapis. Selain itu, ada juga yang terlihat mengambil malam atau bahan membuat batik yang dipanaskan di atas penggorengan dan kompor kecil dengan canting dan kemudian menorehkannya pada kain putih yang disiapkan pihak Museum Tekstil Jakarta.
"Perasaan saya setelah membatik sangat senang, pengetahuan saya akhirnya bertambah," kata pelajar kelas IX SMPN 22 Bandarlampung, Isna Maulida, selepas belajar membatik dan selanjutnya ingin mencoba mangka’bi.
Gubernur Lampung Sjahroedin ZP dalam sambutan tertulis yang disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Berlian Tihang menyatakan Indonesia memiliki keragaman budaya sejak berabad-abad lalu. Salah satunya ialah kain tenun tradisional yang mempunyai nilai sejarah sangat tinggi.
Sebuah warisan yang harus dijaga serta terus dilestarikan. Termasuk secara aktif, perlu sosialisasi berkesinambungan mengenai keberadaan kekayaan kain tenun tradisional bangsa kepada khalayak.
Hal tersebut, kata gubernur, perlu dilakukan mengingat modernitas zaman telah mengikis pengetahuan sebagian besar remaja dari khazanah kain tradisional sehingga proses penting seperti pembuatan kain tradisional hampir hilang.
Maka, perhelatan "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang berlangsung 9 sampai dengan 12 Oktober 2012 dan diikuti 31 museum nasional dari seluruh daerah di Indonesia itu, ialah upaya sosialisasi dan promosi yang diharapkan membuat masyarakat dan generasi muda lebih mengenal kain tenun tradisional yang merupakan kekayaan bangsa.
"Sejarah diwakili juga oleh kain, termasuk tapis bidak galah napuh dari Kabupaten Waykanan, karenanya perlu konservasi atau pelestarian dan perlindungan di jaman modern ini supaya tidak mati," kata Raswan.
Tapis bidak galah napuh menurut Raswan mewakili zaman kait dan kunci yang ada pada abad 2 SM. Memiliki penyongketan geometris, dan bermotif animal mitos, semisal buaya putih atau burung hong yang merupakan simbol-simbol peradaban spiritualitas masa lalu: pemujaan.
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, sejumlah kain tradisional dari daerah itu juga memiliki motif binatang, seperti kuda, ayam, cicak, dan lain sebagainya.
Hal tersebut mempunyai nilai tersendiri dan ada sisi positif yang menarik untuk direnungkan dan dipelajari oleh manusia.
"Ayam jantan misalnya, ujar staf Unit Pelaksana Teknis Museum Daerah Nusa Tenggara Timur, Zakeos Safis, adalah sumber pengayom karena saat menemukan makanan tidak dimakan sendiri, pasti akan mengundang sejumlah pasangan dan anaknya.
Oleh sebab itu, katanya pula, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga berupaya mengembangkan dan melestarikan kain tradisional dari daerah tersebut.
"Ada beberapa hal yang membuat hal tersebut harus dilakukan, dari permintaan pasar sampai dengan permasalahan pergeseran motif," ujar dia seraya menambahkan harga kain Sumba cukup bagus, karena bisa mencapai Rp5 juta per lembar.
Terjadinya pengenalan kekayaan tradisi bangsa Indonesia kepada masyarakat dan generasi muda akan mendorong terjadinya rasa cinta dan memiliki keragaman budaya nusantara.
Bahkan, ujar Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Surya Helmy dalam sambutannya, hal itu juga bisa memperkuat jati diri bangsa. "Banyak anak sekarang yang tidak peduli dengan tradisi dan budaya merupakan kenyataan," kata Isna lagi.
Oleh sebab itu, perkembangan kain tradisional di Indonesia seperti tapis, batik juga mangka’bi sangat diharapkan bisa semakin maju.
Pelajar kelahiran Bandarlampung, 16 Oktober 1998 itu menyatakan, tidak akan merasa malu jika nantinya diajak untuk menyebarluaskan pengetahuan membatik atau mangka’bi yang didapatkannya di stand Museum Tekstil Jakarta itu.
"Tentu saya akan ambil bagian untuk berpartisipasi supaya tradisi dan kebudayaan Indonesia tidak punah, minimal bisa menjawab ketika ditanya mengenai batik, mangka’bi dan kain tradisional lainnya. Siapa lagi yang tidak memulai melestarikannya jika bukan generasi muda seperti kami," kata Isna yang sebelumnya mengenal batik hanya melalui teori.
Namun demikian, butuh kesabaran dan kemauan mengajak supaya anak-anak mencintai kain tradisional Indonesia.
Menurut Sari, hal tersebut dibutuhkan sehubungan anak-anak tidak bisa langsung mengerti dengan cara pembuatan kain tradisional yang diajarkan.
Salah satu peserta "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung itu menambahkan, pengenalan kain tradisional Indonesia seperti songket, dan batik memang perlu dikenalkan sejak dini pada anak-anak.
"Supaya anak mengerti budayanya sendiri, jika tidak, kebudayaan kita bisa hilang, oleh karena itu harus ada pembinaan untuk anak-anak," ujar dia pula.
Harapan tanpa upaya akan selamanya menjadi harapan. Dan kain tenun tradisional Indonesia yang beragam tentu akan mengalami kondisi lebih naas dari mangka’bi dan bidak galah napuh jika hanya dengan berharap tanpa upaya nyata.
Selain itu, nasib keberlangsungan beragam kain tenun tradisional Indonesia yang masih memiliki peluang pasar lokal juga internasional juga membutuhkan cinta seperti yang dimiliki Keiko, Raswan, Sari dan Isna untuk bisa bangkit, termasuk peranan nyata sebagaimana dilakukan Pemerintah Nusa Tenggara Timur dan Lampung.
Sumber
KOMPAS/YULVIANUS HARJONO
Ilustrasi
Sejumlah pelajar selonjor dan menggunakan satu jempol kakinya untuk menahan beberapa benang yang selanjutnya mereka anyam dengan tangan.
Mangka’bi, demikian teknik tersebut, ialah cara mengepang benang dalam tenun Tana Toraja yang "diperkenalkan" antropolog Jepang, Keiko Kusakabe.
"Awal mengerti cara tersebut ialah saat yang bersangkutan membuat pelatihan mangka’bi, karena itu, anak-anak atau pengunjung yang mau mencoba kami ajari," ujar staf Bagian Pameran dan Edukasi Museum Tekstil Jakarta, Sari Permana, di sela perhelatan "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang berlangsung di Museum Negeri Ruwai Jurai, Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung.
Di Lampung yang menjadi tuan rumah acara tersebut, kondisi sebagaimana terjadi pada mangka’bi juga terjadi pada kain tenun tradisional Lampung, yakni tapis bidak galah napuh yang dikonservasi sekitar 10 tahun lalu oleh Raswan Tapis, alumnus Fakultas Bahasa dan Seni Unila 1990 yang konsen terhadap kain tapis.
Menurut Raswan, rujukan konservasi bidak galah napuh ialah buku-buku dan barang-barang kuno milik orang asing. Sementara eksekusi rekonstruksinya melewati percobaan demi percobaan. "Supaya komposisi dan bentuk aslinya tidak hilang," kata Raswan menjelaskan.
Menunggu Kebangkitan Tenun Tradisional
"Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang merupakan bagian "Festival Krakatau XXII" terbukti ampuh membuat Museum Negeri Ruwai Jurai yang biasanya lengang menjadi penuh orang dalam beberapa siang.
Di sela acara pembukaan, puluhan pelajar terlihat khusyuk mengikuti lomba menyulam tapis. Selain itu, ada juga yang terlihat mengambil malam atau bahan membuat batik yang dipanaskan di atas penggorengan dan kompor kecil dengan canting dan kemudian menorehkannya pada kain putih yang disiapkan pihak Museum Tekstil Jakarta.
"Perasaan saya setelah membatik sangat senang, pengetahuan saya akhirnya bertambah," kata pelajar kelas IX SMPN 22 Bandarlampung, Isna Maulida, selepas belajar membatik dan selanjutnya ingin mencoba mangka’bi.
Gubernur Lampung Sjahroedin ZP dalam sambutan tertulis yang disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Berlian Tihang menyatakan Indonesia memiliki keragaman budaya sejak berabad-abad lalu. Salah satunya ialah kain tenun tradisional yang mempunyai nilai sejarah sangat tinggi.
Sebuah warisan yang harus dijaga serta terus dilestarikan. Termasuk secara aktif, perlu sosialisasi berkesinambungan mengenai keberadaan kekayaan kain tenun tradisional bangsa kepada khalayak.
Hal tersebut, kata gubernur, perlu dilakukan mengingat modernitas zaman telah mengikis pengetahuan sebagian besar remaja dari khazanah kain tradisional sehingga proses penting seperti pembuatan kain tradisional hampir hilang.
Maka, perhelatan "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang berlangsung 9 sampai dengan 12 Oktober 2012 dan diikuti 31 museum nasional dari seluruh daerah di Indonesia itu, ialah upaya sosialisasi dan promosi yang diharapkan membuat masyarakat dan generasi muda lebih mengenal kain tenun tradisional yang merupakan kekayaan bangsa.
"Sejarah diwakili juga oleh kain, termasuk tapis bidak galah napuh dari Kabupaten Waykanan, karenanya perlu konservasi atau pelestarian dan perlindungan di jaman modern ini supaya tidak mati," kata Raswan.
Tapis bidak galah napuh menurut Raswan mewakili zaman kait dan kunci yang ada pada abad 2 SM. Memiliki penyongketan geometris, dan bermotif animal mitos, semisal buaya putih atau burung hong yang merupakan simbol-simbol peradaban spiritualitas masa lalu: pemujaan.
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, sejumlah kain tradisional dari daerah itu juga memiliki motif binatang, seperti kuda, ayam, cicak, dan lain sebagainya.
Hal tersebut mempunyai nilai tersendiri dan ada sisi positif yang menarik untuk direnungkan dan dipelajari oleh manusia.
"Ayam jantan misalnya, ujar staf Unit Pelaksana Teknis Museum Daerah Nusa Tenggara Timur, Zakeos Safis, adalah sumber pengayom karena saat menemukan makanan tidak dimakan sendiri, pasti akan mengundang sejumlah pasangan dan anaknya.
Oleh sebab itu, katanya pula, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga berupaya mengembangkan dan melestarikan kain tradisional dari daerah tersebut.
"Ada beberapa hal yang membuat hal tersebut harus dilakukan, dari permintaan pasar sampai dengan permasalahan pergeseran motif," ujar dia seraya menambahkan harga kain Sumba cukup bagus, karena bisa mencapai Rp5 juta per lembar.
Terjadinya pengenalan kekayaan tradisi bangsa Indonesia kepada masyarakat dan generasi muda akan mendorong terjadinya rasa cinta dan memiliki keragaman budaya nusantara.
Bahkan, ujar Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Surya Helmy dalam sambutannya, hal itu juga bisa memperkuat jati diri bangsa. "Banyak anak sekarang yang tidak peduli dengan tradisi dan budaya merupakan kenyataan," kata Isna lagi.
Oleh sebab itu, perkembangan kain tradisional di Indonesia seperti tapis, batik juga mangka’bi sangat diharapkan bisa semakin maju.
Pelajar kelahiran Bandarlampung, 16 Oktober 1998 itu menyatakan, tidak akan merasa malu jika nantinya diajak untuk menyebarluaskan pengetahuan membatik atau mangka’bi yang didapatkannya di stand Museum Tekstil Jakarta itu.
"Tentu saya akan ambil bagian untuk berpartisipasi supaya tradisi dan kebudayaan Indonesia tidak punah, minimal bisa menjawab ketika ditanya mengenai batik, mangka’bi dan kain tradisional lainnya. Siapa lagi yang tidak memulai melestarikannya jika bukan generasi muda seperti kami," kata Isna yang sebelumnya mengenal batik hanya melalui teori.
Namun demikian, butuh kesabaran dan kemauan mengajak supaya anak-anak mencintai kain tradisional Indonesia.
Menurut Sari, hal tersebut dibutuhkan sehubungan anak-anak tidak bisa langsung mengerti dengan cara pembuatan kain tradisional yang diajarkan.
Salah satu peserta "Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara" yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung itu menambahkan, pengenalan kain tradisional Indonesia seperti songket, dan batik memang perlu dikenalkan sejak dini pada anak-anak.
"Supaya anak mengerti budayanya sendiri, jika tidak, kebudayaan kita bisa hilang, oleh karena itu harus ada pembinaan untuk anak-anak," ujar dia pula.
Harapan tanpa upaya akan selamanya menjadi harapan. Dan kain tenun tradisional Indonesia yang beragam tentu akan mengalami kondisi lebih naas dari mangka’bi dan bidak galah napuh jika hanya dengan berharap tanpa upaya nyata.
Selain itu, nasib keberlangsungan beragam kain tenun tradisional Indonesia yang masih memiliki peluang pasar lokal juga internasional juga membutuhkan cinta seperti yang dimiliki Keiko, Raswan, Sari dan Isna untuk bisa bangkit, termasuk peranan nyata sebagaimana dilakukan Pemerintah Nusa Tenggara Timur dan Lampung.
Sumber
Tidak ada komentar