50 Kicauan Per Hari, Folowwer Bisa Capai 16.610
AKUN - twitter @Infosenijogja menjadi rujuan untuk mengetahui info terbaru kegiatan seni dan budaya di Jogja. Dalam usia tiga tahun, sosial media (sosmed) ini sudah bisa menjadi sumber eferensi terpercaya. Siapa di balik itu semua? Reren Indranila, Jogja seorang pria berjalan dengan langkah santai mencari tempat teduh untuk menghindari teriknya matahari siang kemarin. Di bawah pohon nan rindang, pria bernama Eko Nuryono itu mengeluarkan BackBerry miliknya. Ia asyik mengetik pesan-pesan singkat yang di-upload melalui akun twitter @infosenijogja.
Ya, Eko adalah admin akun yang selalu menginformasikan pagelaran seni, budaya, dan hiburan di seantero Jogjakarta. Tepat 22 Oktober tiga tahun silam, Eko membuat akun ini sebagai media untuk menjembatani audience yang haus informasi kegiatan seni dan budaya. Kemarin followernya mencapai 16.610.
”Sehari paling sedikit 50 kicauan atau tweet yang saya upload. Itu hanya upload informasi, dan retweet (RT) dari follower yang mengabarkan kegiatan seni. Belum untuk menjawab mention dari follower,” ujarnya.
Dia menuturkan, ide awalnya hanya untuk sharing informasi. Apalagi banyak acara seni yang dari sisi materi bagus, tetapi kurang publikasi, sehingga saat pergelaran berlangsung pengunjungnya sangat sedikit. Padahal diluar sana, banyak juga audience yang sebetulnya mencari agenda seni tetapi terbatas infomasinya.
Nah, lewat sosmed, sharing informasi bisa dilakukan. Terlebih saat ini, sosmed sudah menjadi satu gaya hidup bahkan kebutuhan bagi sebagian orang. Misalnya gelar seni budaya setiap akhir bulan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), sekarang juga sudah banyak yang tahu dari informasi di twitter.
”Saat ini juga ada pergeseran, datang ke suatu acara seni dan budaya menjadi satu gengsi tersendiri. Mereka para audience, melihat pergelaran terus nge-tweet atau foto-foto sebagai bukti eksistensi diri untuk followernya,” ungkap pria yang sempat merasakan menjadi wartawan selama dua tahun di Jakarta ini.
Menurut Eko, dalam memberikan informasi di sosial media harus memastikan kebenaran acara. Misalnya, ada follower yang menginformasikan kegiatan seni di suatu tempat. Olehnya, informasi itu dikroscek terlebih dahulu apakah benar ada acara itu, gratis atau tidak, dan kontak personnya jika ada. Hal ini penting agar tidak memberikan informasi yang salah atau bohong.
”Sebelum saya upload atau RT, saya selalu kroscek dulu benar atau tidak. Jangan sampai memberikan informasi salah. Kita kan juga bertanggung jawab terhadap follower. Apalagi tak hanya audience yang menjadikan @infosenijogja sebagai sumber referensi kegiatan. Teman media (wartawan) pun terkadang juga melihat agenda di akun ini, sehingga harus ada kontak person untuk memudahkan peliputan,” terangnya.
Meski sudah tiga tahun ini memberikan informasi kepada khalayak, Eko mengaku belum pernah mengupload tweet berbayar. Dirinya pernah berpikir untuk ke arah sana, tetapi setelah dipikir lagi, kemudian mengurungkan niatnya. Karena khawatir nantinya akan tertekan dengan order berbayar tersebut. Lagipula, dengan tweet berbayar followernya akan menerima informasi yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan.
”Tak ingin terjebak dalam kondisi begitu, lagipula niatnya hanya sharing informasi. Biasanya selain upload info, saya juga memberikan pengetahuan mengenai suatu pertunjukan. Misalnya jathilan, saya beritahukan asal usul dan lain. Biar follower paham. Selain itu, jika di atas pukul 21.00 saya biasa upload cerita ringan untuk lucu-lucuan agar tidak bosan,” ungkap pria yang sempat bergabung di beberapa kelompok teater dan sastra ini.
Selain di twitter, Eko juga membuat akun serupa di sosmed facebook. Di sini dia membuat grup dengan jumlah anggota lebih dari 300 orang. Tetapi Eko mengaku lebih asyik saat berkicau di twitter, alasannya jauh lebih interaktif.
”Di facebook juga masih aktif, saya sering upload informasi juga di sana. Sama intensnya kok. Tetapi memang lebih interaktif di twitter,” ungkap Eko yang mengaku hanya membutuhkan Rp 100 ribu saja perbulan untuk paket data agar selalu terkoneksi di sosmed.
Saat ini, Eko tidak sendirian dalam memberikan informasi mengenai Jogja. Akun-akun yang berisi informasi di twitter tengah bersatu dalam Jogja Sosial Media. Harapannya dengan wadah ini bisa mengomunikasikan aspirasi warga Jogjakarta. Bahkan, Jogja Sosial Media pernah membuat satu event dengan hastag #rembugjogja yang diadakan di dunia nyata sekaligus di dunia maya.
Bersama dengan akun @JogjaUpdate, @YogyakartaCity, dan akun-akun lain, mencoba bergandengan tangan ikut mempromosikan Jogjakarta dan menjadikan sosmed sebagai tempat curahan aspirasi. ”Misalnya saat perubahan wajah Malioboro beberapa waktu lalu, responnya sangat luar biasa. Bahkan aspirasi warga di dunia maya ditindaklanjuti pemerintah kota. Hal ini menunjukan betapa berpengaruhnya sosial media dalam menyuarakan aspirasi,” imbuhnya. (*/tya)
Sumber
AKUN - twitter @Infosenijogja menjadi rujuan untuk mengetahui info terbaru kegiatan seni dan budaya di Jogja. Dalam usia tiga tahun, sosial media (sosmed) ini sudah bisa menjadi sumber eferensi terpercaya. Siapa di balik itu semua? Reren Indranila, Jogja seorang pria berjalan dengan langkah santai mencari tempat teduh untuk menghindari teriknya matahari siang kemarin. Di bawah pohon nan rindang, pria bernama Eko Nuryono itu mengeluarkan BackBerry miliknya. Ia asyik mengetik pesan-pesan singkat yang di-upload melalui akun twitter @infosenijogja.
Ya, Eko adalah admin akun yang selalu menginformasikan pagelaran seni, budaya, dan hiburan di seantero Jogjakarta. Tepat 22 Oktober tiga tahun silam, Eko membuat akun ini sebagai media untuk menjembatani audience yang haus informasi kegiatan seni dan budaya. Kemarin followernya mencapai 16.610.
”Sehari paling sedikit 50 kicauan atau tweet yang saya upload. Itu hanya upload informasi, dan retweet (RT) dari follower yang mengabarkan kegiatan seni. Belum untuk menjawab mention dari follower,” ujarnya.
Dia menuturkan, ide awalnya hanya untuk sharing informasi. Apalagi banyak acara seni yang dari sisi materi bagus, tetapi kurang publikasi, sehingga saat pergelaran berlangsung pengunjungnya sangat sedikit. Padahal diluar sana, banyak juga audience yang sebetulnya mencari agenda seni tetapi terbatas infomasinya.
Nah, lewat sosmed, sharing informasi bisa dilakukan. Terlebih saat ini, sosmed sudah menjadi satu gaya hidup bahkan kebutuhan bagi sebagian orang. Misalnya gelar seni budaya setiap akhir bulan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), sekarang juga sudah banyak yang tahu dari informasi di twitter.
”Saat ini juga ada pergeseran, datang ke suatu acara seni dan budaya menjadi satu gengsi tersendiri. Mereka para audience, melihat pergelaran terus nge-tweet atau foto-foto sebagai bukti eksistensi diri untuk followernya,” ungkap pria yang sempat merasakan menjadi wartawan selama dua tahun di Jakarta ini.
Menurut Eko, dalam memberikan informasi di sosial media harus memastikan kebenaran acara. Misalnya, ada follower yang menginformasikan kegiatan seni di suatu tempat. Olehnya, informasi itu dikroscek terlebih dahulu apakah benar ada acara itu, gratis atau tidak, dan kontak personnya jika ada. Hal ini penting agar tidak memberikan informasi yang salah atau bohong.
”Sebelum saya upload atau RT, saya selalu kroscek dulu benar atau tidak. Jangan sampai memberikan informasi salah. Kita kan juga bertanggung jawab terhadap follower. Apalagi tak hanya audience yang menjadikan @infosenijogja sebagai sumber referensi kegiatan. Teman media (wartawan) pun terkadang juga melihat agenda di akun ini, sehingga harus ada kontak person untuk memudahkan peliputan,” terangnya.
Meski sudah tiga tahun ini memberikan informasi kepada khalayak, Eko mengaku belum pernah mengupload tweet berbayar. Dirinya pernah berpikir untuk ke arah sana, tetapi setelah dipikir lagi, kemudian mengurungkan niatnya. Karena khawatir nantinya akan tertekan dengan order berbayar tersebut. Lagipula, dengan tweet berbayar followernya akan menerima informasi yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan.
”Tak ingin terjebak dalam kondisi begitu, lagipula niatnya hanya sharing informasi. Biasanya selain upload info, saya juga memberikan pengetahuan mengenai suatu pertunjukan. Misalnya jathilan, saya beritahukan asal usul dan lain. Biar follower paham. Selain itu, jika di atas pukul 21.00 saya biasa upload cerita ringan untuk lucu-lucuan agar tidak bosan,” ungkap pria yang sempat bergabung di beberapa kelompok teater dan sastra ini.
Selain di twitter, Eko juga membuat akun serupa di sosmed facebook. Di sini dia membuat grup dengan jumlah anggota lebih dari 300 orang. Tetapi Eko mengaku lebih asyik saat berkicau di twitter, alasannya jauh lebih interaktif.
”Di facebook juga masih aktif, saya sering upload informasi juga di sana. Sama intensnya kok. Tetapi memang lebih interaktif di twitter,” ungkap Eko yang mengaku hanya membutuhkan Rp 100 ribu saja perbulan untuk paket data agar selalu terkoneksi di sosmed.
Saat ini, Eko tidak sendirian dalam memberikan informasi mengenai Jogja. Akun-akun yang berisi informasi di twitter tengah bersatu dalam Jogja Sosial Media. Harapannya dengan wadah ini bisa mengomunikasikan aspirasi warga Jogjakarta. Bahkan, Jogja Sosial Media pernah membuat satu event dengan hastag #rembugjogja yang diadakan di dunia nyata sekaligus di dunia maya.
Bersama dengan akun @JogjaUpdate, @YogyakartaCity, dan akun-akun lain, mencoba bergandengan tangan ikut mempromosikan Jogjakarta dan menjadikan sosmed sebagai tempat curahan aspirasi. ”Misalnya saat perubahan wajah Malioboro beberapa waktu lalu, responnya sangat luar biasa. Bahkan aspirasi warga di dunia maya ditindaklanjuti pemerintah kota. Hal ini menunjukan betapa berpengaruhnya sosial media dalam menyuarakan aspirasi,” imbuhnya. (*/tya)
Sumber
Tidak ada komentar