MAGELANG, KOMPAS — Kejayaan zaman kerajaan Nusantara tercapai antara lain karena kemampuan para penguasa mengelola secara baik berbagai sumber daya maritim dan agraris. Hal ini disampaikan arkeolog Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo, di Borobudur, Rabu (31/10/2012).
"Tidak perlu dipertentangkan antara maritim dan agraris, tetapi bagaimana mengelola sumber daya laut dan sumber daya agraris itu untuk kepentingan masyarakat," katanya setelah menjadi salah satu pembicara dalam "Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara" dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival (28-31 Oktober 2012) di Borobudur.
Ia menyatakan bahwa elite-elite saat ini cenderung "perang paradigma" untuk mengubah paradigma membangun dengan pandangan maritim karena paradigma agraris dianggap gagal, dan sebagai hal yang tidak perlu.
Menurutnya, kerajaan-kerajaan Nusantara, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, bisa mencapai zaman kejayaan bukan karena merumuskan wilayah sebagai negara maritim atau agraris.
"Saya dukung negara maritim bukan karena lautnya luas atau negara kepulauan yang lebih luas, tetapi kemampuan mengelola sumber daya," kata Supratikno, yang sedang terlibat penelitian tentang jejak tradisi maritim atas beberapa kerajaan Nusantara yang pernah berjaya itu.
Ia mengatakan, tiga kerajaan itu telah mencapai prestasi yang membanggakan. Pada zamannya, kerajaan-kerajaan itu tidak mempertentangkan antara kekuatan maritim dan agraris.
Kerajaan maritim, kata pengajar Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu, tidak ditentukan oleh pusat pemerintahannya di daratan atau pantai. "Tetapi kemampuan mengelola kekuasaannya," katanya.
Ia menyebutkan, contoh tentang Kerajaan Mataram—yang selama ini dimengerti berhasil mencapai kejayaan karena kekuatan agraris—ternyata pada abad VIII pernah mengirim armada hingga Kamboja dan Vietnam. "Di sana ada prasasti yang menyebutkan bahwa mereka tunduk kepada Jawa," katanya.
Ia juga mengatakan, di Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dibangun sekitar abad VIII terdapat 10 panel dan 11 gambar tentang kapal, sedangkan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya mencapai kemajuan dengan berbagai bukti, antara lain kekuatan maritim dan agraris.
Penelitian tentang jejak tradisi maritim itu dilakukan Supratikno sejak Juni, dan akan berakhir hingga Desember 2012 terkait dengan program riset unggulan utama Universitas Indonesia.
Ia mengakui, berbagai materi yang diteliti antara lain prasasti, relief, naskah, berita-berita China dan Portugis pada abad XVI, bangkai sejumlah perahu kuno di Palembang dan Jambi, serta studi etnografi tentang perahu yang hingga saat ini masih dibuat warga Melayu dan Bugis di sekitar Sungai Batanghari, Provinsi Jambi.
Diskusi dilanjutkan oleh para penulis cerita silat dan sejarah Nusantara yang berasal dari beberapa kota di Indonesia, yang menjadi peserta BWCF 2012 pada Rabu. Mereka membahas tema "SH Mintardja dan Mataram", dengan pembicara Otto Sukatno CR, Supratikno Rahardjo, dan Teguh Supriyanto, serta moderator Romo Mudji Sutrisno.
Acara dilanjutkan dengan diskusi bertema "Napak Tilas Nusantara", dengan pembicara Aan Permana Merdeka, Nigel Bullough, dan Fendi Siregar, serta moderator Putu Fajar Arcana.
Festival yang diselenggarakan oleh Samana Foundation, lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya, terutama berkaitan dengan pengalaman sejarah Nusantara itu, diikuti sekitar 300 peserta, baik aktif, pasif, maupun pembicara dengan berbagai latar belakang, seperti penulis, peneliti, akademisi, pakar sejarah, arkeolog, rohaniwan, dan budayawan.
Agenda mereka antara lain diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara. Sebagian besar agenda berlangsung di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang; dan sebagian lainnya di Yogyakarta.
Sumber
"Tidak perlu dipertentangkan antara maritim dan agraris, tetapi bagaimana mengelola sumber daya laut dan sumber daya agraris itu untuk kepentingan masyarakat," katanya setelah menjadi salah satu pembicara dalam "Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara" dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival (28-31 Oktober 2012) di Borobudur.
Ia menyatakan bahwa elite-elite saat ini cenderung "perang paradigma" untuk mengubah paradigma membangun dengan pandangan maritim karena paradigma agraris dianggap gagal, dan sebagai hal yang tidak perlu.
Menurutnya, kerajaan-kerajaan Nusantara, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, bisa mencapai zaman kejayaan bukan karena merumuskan wilayah sebagai negara maritim atau agraris.
"Saya dukung negara maritim bukan karena lautnya luas atau negara kepulauan yang lebih luas, tetapi kemampuan mengelola sumber daya," kata Supratikno, yang sedang terlibat penelitian tentang jejak tradisi maritim atas beberapa kerajaan Nusantara yang pernah berjaya itu.
Ia mengatakan, tiga kerajaan itu telah mencapai prestasi yang membanggakan. Pada zamannya, kerajaan-kerajaan itu tidak mempertentangkan antara kekuatan maritim dan agraris.
Kerajaan maritim, kata pengajar Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu, tidak ditentukan oleh pusat pemerintahannya di daratan atau pantai. "Tetapi kemampuan mengelola kekuasaannya," katanya.
Ia menyebutkan, contoh tentang Kerajaan Mataram—yang selama ini dimengerti berhasil mencapai kejayaan karena kekuatan agraris—ternyata pada abad VIII pernah mengirim armada hingga Kamboja dan Vietnam. "Di sana ada prasasti yang menyebutkan bahwa mereka tunduk kepada Jawa," katanya.
Ia juga mengatakan, di Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dibangun sekitar abad VIII terdapat 10 panel dan 11 gambar tentang kapal, sedangkan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya mencapai kemajuan dengan berbagai bukti, antara lain kekuatan maritim dan agraris.
Penelitian tentang jejak tradisi maritim itu dilakukan Supratikno sejak Juni, dan akan berakhir hingga Desember 2012 terkait dengan program riset unggulan utama Universitas Indonesia.
Ia mengakui, berbagai materi yang diteliti antara lain prasasti, relief, naskah, berita-berita China dan Portugis pada abad XVI, bangkai sejumlah perahu kuno di Palembang dan Jambi, serta studi etnografi tentang perahu yang hingga saat ini masih dibuat warga Melayu dan Bugis di sekitar Sungai Batanghari, Provinsi Jambi.
Diskusi dilanjutkan oleh para penulis cerita silat dan sejarah Nusantara yang berasal dari beberapa kota di Indonesia, yang menjadi peserta BWCF 2012 pada Rabu. Mereka membahas tema "SH Mintardja dan Mataram", dengan pembicara Otto Sukatno CR, Supratikno Rahardjo, dan Teguh Supriyanto, serta moderator Romo Mudji Sutrisno.
Acara dilanjutkan dengan diskusi bertema "Napak Tilas Nusantara", dengan pembicara Aan Permana Merdeka, Nigel Bullough, dan Fendi Siregar, serta moderator Putu Fajar Arcana.
Festival yang diselenggarakan oleh Samana Foundation, lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya, terutama berkaitan dengan pengalaman sejarah Nusantara itu, diikuti sekitar 300 peserta, baik aktif, pasif, maupun pembicara dengan berbagai latar belakang, seperti penulis, peneliti, akademisi, pakar sejarah, arkeolog, rohaniwan, dan budayawan.
Agenda mereka antara lain diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara. Sebagian besar agenda berlangsung di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang; dan sebagian lainnya di Yogyakarta.
Sumber
Tidak ada komentar