Ilustrasi
TRIBUNNEWS.COM,MAKASSAR - Idenya luar biasa. Mengubah langit-langit salah satu gedung Fakultas Kedokteran Unhas menjadi laboratorium. Langit-langit yang dulunya kosong melompong itu disulap menjadi kandang bagi ribuan nyamuk berbagai spesies.
Di puncak gedung berlantai lima itu, demikian Tribun Timur (TRIBUNnews.com Network) melaporkan, dr Isra Wahid PhD beserta beberapa mahasiswanya meneliti pola hidup, penyebaran, hingga virus yang ditimbulkan nyamuk.
Mereka menyebutnya Insektarium, semacam lokalisasi nyamuk untuk keperluan eksperimen lengkap dengan kelinci percobaan. Bahkan tak jarang Isra atau stafnya sendiri mendonorkan darahnya kepada nyamuk-nyamuk itu.
Isra mengaku mendesainnya sendiri tanpa pernah melihat kandang serupa. Ia mencetus laboratorium itu sekira satu tahun lalu. "Kebetulan ada uang sisa hasil riset sekitar Rp100 juta. Dan di sini saya temukan tempat yang tidak digunakan, lalu kami manfaatkan saja," cerita pria 44 tahun ini.
Kandang nyamuk milik alumni program doktor Saga Medical School, Jepang, ini bisa dibilang adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia.
“Penernakan” nyamuk itu pun menggaung hingga mancanegara. Tidak mengherankan jika sejumlah mahasiswa dan ilmuan dari berbagai negara seperti Amerika, Australia, hingga Inggris pernah mengunjungi laboratorium langka di kampus Unhas, Tamalanrea, Makassar, itu.
"Ada tamu dari luar negeri hanya empat jam di Indonesia, mereka kembali lagi setelah datang ke sini," ujar Isra yang juga Kepala Bidang Penelitian Rumah Sakit Unhas ini kepada Tribun, Jumat (14/12).
Kedekatan Isra dengan nyamuk sudah dimulai ketika masih duduk di bangku SMAN V Makassar. Isra yang menyukai pelajaran sains khususnya Biologi kerap meneliti tentang perilaku salah satu serangga itu.
Saat hendak menyelesaikan kuliah S1 di Fakultas Kedokteran Unhas, Isra juga meneliti tentang efek obat nyamuk terhadap jaringan Paru-paru.
Atas saran dari profesor asal Jepang, Motoyosyi Mogi Isra akhirnya berketetapan memilih bidang entomology dengan spesifikasi virus-virus yang disebabkan oleh gigitan nyamuk saat mengambil program doktornya.
Tak terbantahkan bahwa peneliti bidang ini sangat kurang. Bisa dibilang di Makassar hanya Isra yang betul-betul fokus meneliti nyamuk. Hari-harinya diisi dengan kegiatan di laboratorium atau berpetualang ke daerah-daerah endemik malaria atau demam berdarah (dengue).
Jejak-jejak petualang Isra dan timnya ini menurut rencana akan dibukukan dalam Ensikolopedia Mosquito of Sulawesi. "Sebagai peneliti saya tahu tempat saya bukan kantoran, tapi di lapangan," ujar penggemar olahraga off road ini.
Tenaga dan pikiran Isra sudah dimanfaatkan oleh berbagai instansi maupun perusahaan-perusahaan baik dalam maupun luar negeri. Di Dinas Kesehatan Makassar ia dijadikan sebagai konsultan penanggulangan demam berdarah, hasilnya 4 tahun terakhir angka kasus penyakit ini turun drastis dari 1000-an kasus sampai kurang dari 100.
Isra juga banyak digunakan lembaga internasional seperti Unicef, WHO, USAID, CDC Amerika, hingga perusahaan sebesar Unilever.
Bahkan saat Tribun menemuinya Jumat (14/12) ia akan menggelar teleconference dengan lembaga kesehatan Inggris untuk membantu negara tersebut dalam meneliti penyebaran serangga berbahaya ini.
Saat ini Isra dan beberapa dosen peneliti kesehatan Unhas menggagas sebuah Institut Pusat Unggulan Kajian Malaria (Center of Excelence for Malaria) di kampus ini.
Lembaga yang akan dibuka di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas itu merupakan lembaga penelitian, pelatihan dan pendidikan tentang Malaria pertama di Indonesia. "Jika tidak ada halangan, tahun depan sudah beroprasi," kata Isra.
Tidak ada komentar