Select Menu

ads2

Slider

Featured Post (Slider)

Rumah - Interior

Recent Comments

Kesehatan

Social Icons

google plus facebook linkedin

Artikel Popular

Portfolio

Motivasi Kerja

Travel

Performance

Cute

My Place

Motivasi Kerja

Racing

Videos

» » Gejolak ”Rajakaya”
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Oleh Toto Subandriyo *)

bisnisukm.com

BEBERAPA waktu terakhir media di Tanah Air gencar memberitakan kelangkaan daging sapi di pasaran. Di sejumlah daerah harga bahan pangan sumber protein hewani itu meroket di atas batas psikologis, Rp 100 ribu per kilogram. Kondisi itu memicu pedagang daging sapi di beberapa daerah mogok berjualan. Ibu rumah tangga, pemilik warteg, penjual bakso, dan konsumen daging sapi, menjerit. Mereka harus membayar lebih mahal dari biasanya untuk membeli sepotong daging. Kenyataan ini menjadi batu ujian bagi pemerintah yang telah menargetkan pencapaian swasembada daging sapi pada 2014. Sebelumnya, target tersebut pernah direvisi dua kali pada 2007 dan 2010.

Kenyataan itu juga tak sejalan dengan hasil sensus sapi yang diselenggarakan BPS pada Juni 2011. Akhir Desember 2011, BPS mengumumkan sapi potong hasil sensus tercatat 14,8 juta ekor. Jumlah itu jauh lebih banyak dari prediksi, yaitu 12,6 juta ekor.

Melihat jumlah sapi potong hasil sensus yang cukup mencengangkan, tahun ini Kementerian Pertanian mengambil langkah yang dinilai banyak kalangan sangat berani. Kementerian itu memangkas kuota impor daging sapi dan sapi bakalan hingga setengahnya. Kebijakan yang berkesan sangat heroik tersebut dimaksudkan agar iklim industri ternak lokal dapat terdongkrak dan sa-saran pemenuhan kebutuhan daging sapi lokal dapat terealisasi pada 2014.

Mengapa gejolak harga daging sapi masih terjadi? Ada beberapa hal yang mungkin dilupakan oleh penentu kebijakan di Kementerian Pertanian. Belasan juta ekor sapi hasil sensus tersebut berada di tangan para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok negeri.

Hal lain yang juga dilupakan oleh penentu kebijakan pangan adalah tentang unikum budaya masyarakat di bidang peternakan. Bagi masyarakat Indonesia, terutama suku Jawa, beternak sapi adalah upaya menabung. Mereka menjual sapi hanya pada saat terdesak butuh uang. Mereka menganggap sapi dan kerbau bukan semata-mata komoditas melainkan rajakaya (aset cadangan, harta simpanan) yang bisa dijual bila sudah tidak ada lagi sumber atau aset lain untuk mencukupi keperluan keluarga yang bersifat mendesak.

Banyak Varian

Kelangkaan daging sapi mengindikasikan kepada kita bahwa pekerjaan rumah di bidang ketahanan pangan masih menumpuk. Saat ini produksi daging dalam negeri belum mencukupi kebutuhan masyarakat, bahkan pertumbuhan cenderung stagnan. Kebutuhan daging sapi untuk memenuhi konsumsi tahun ini 484.060 ton. Jumlah tersebut baru bisa dipenuhi dari peternak domestik 399.320 ton, sisanya 84.740 ton harus impor.

Dalam jangka menengah dan panjang pemerintah perlu lebih konsisten membangun industri peternakan. Negeri ini memiliki banyak varian sapi unggul, seper- ti sapi madura, sapi bali, dan sapi aceh. Secara genetis semua mudah digemukkan dan memiliki bobot karkas tinggi. Potensi ini jika ditangani intensif dan berkelanjutan, dapat segera menutup kekurangan pasokan daging.

Mutu bibit dan pakan sangat menentukan kualitas sapi dan daging yang dihasilkan. Karena itu intervensi pemerintah dalam program pengembangan sapi rakyat harus lebih menekankan pada upaya pemenuhan bibit unggul dan pakan berkualitas. Menurut Marsetyo (2011), sistem pembibitan sapi di negara kita masih konvensional sehingga kurang optimal hasilnya. Jarak waktu beranak (calving interval) sapi bali berkisar 15-18 bulan, calving rate sekitar 55%, tingkat kematian anak sapi 18%, dan kematian induk 2,7%. Melalui teknologi budi daya, seperti inseminasi buatan dan transfer embrio, kelemahan tersebut dapat diperbaiki.

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki banyak varian tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber hijauan makanan ternak (HMT). Kondisi ini merupakan keunggulan komparatif yang menguntungkan peternak. Kemelimpahan hijauan makanan ternak itu membuat biaya usaha tani ternak dapat ditekan serendah mungkin. Dengan demikian daya saing industri peternakan meningkat.

Salah satu insentif yang dapat meningkatkan gairah peternak sapi adalah harga jual sapi hidup yang memadai. Selama ini meski harga daging sapi di pasaran cukup tinggi, harga jual sapi hidup kurang memadai. Jika harga jual sapi hidup cukup memadai, usaha peternakan sapi potong lebih bergairah.

Kelangkaan daging sapi saat ini juga menjadi pelajaran arti penting diversifikasi pangan sumber protein hewani lain. Biaya produksi daging sapi relatif lebih mahal dibandingkan sumber protein hewani lain. Pada- hal dari segi kandungan gizi, kita punya banyak sumber protein hewani yang lebih murah dan berkualitas, di antaranya daging unggas, telur, ikan, dan substitusi daging sapi dari ternak ruminansia lain seperti kerbau atau kambing.

Kelangkaan daging sapi kali ini menjadi momentum untuk menggencarkan kampanye gerakan makan ikan (Gemari). Potensi perikanan laut dan darat di negeri ini sangat luar biasa. Potensi itu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menciptakan manusia yang unggul dan berkualitas. (10)

*) Toto Subandriyo, alumnus IPB, anggota Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Kabupaten Tegal

About Unknown

Beritabuzz.blogspot.com merupakan salah satu divisi pengembangan Portal Online Pengetahuan Umum dari Kios Buku Gema (Gemar Membaca)™.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply