Oleh Revi Yohana
Siapa yang menyangka seorang mantan wartawan bisa banting setir menjadi pengusaha ayam yang sukses. Inilah jalan hidup dari seorang Ade Meirizal Zulkarnain. Pria yang saat ini berumur 49 tahun ini dulunya adalah seorang wartawan yang menjadi salah satu orang yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) di tahun 1996.
Saat itu, banyak anggota AJI yang terkena tekanan politik dari penguasa Orde Baru. Ade pun juga harus kehilangan pekerjaan.
Ade pun memutuskan untuk mencoba berbisnis. Awalnya, ia memilih bisnis sembako. Hingga pada tahun 2002, ia memulai bisnis peternakan ayam kampung. Ia melihat ada peluang bisnis yang ciamik dari bisnis ayam kampung.
Ade mulai belajar cara beternak ayam kampung. Saat itu, ia melihat budidaya ayam kampung masih dikelola tradisional atau dipelihara ala kadarnya.
Ia mulai berpikir untuk membudidayakan ayam kampung secara massal dan lebih profesional di tahun 2003. "Gizi pakan, kandang, dan pengelolaan diperhatikan sehingga menghasilkan ayam berkualitas," ujarnya.
Ade merogoh kocek Rp 45 juta sebagai modal awal. Ia membeli 3.000 ekor anak ayam. Awalnya, banyak orang yang menertawakan pembelian anak ayam dalam jumlah banyak itu. Namun, ia tetap yakin usahanya tidak sia-sia.
Benar saja, dalam beberapa bulan, ayamnya sudah besar, bahkan mencapai berat 1 kilogram dalam 70 hari. Padahal, jika dikelola secara tradisional, ayam kampung baru mencapai seberat itu dalam waktu empat hingga lima bulan.
Hingga saat ini, Ade berhasil memproduksi 120.000 hingga 150.000 anak ayam per bulan.
Pada tahun 2004, Ade resmi mendirikan Kelompok Peternakan Rakyat Ayam Kampung Sukabumi (KEPRAKS). Di kelompok ternak ini, ia rajin membagi pengalaman dan pengetahuannya seputar ternak ayam kampung.
Ia juga menampung hasil ternak para anggota KEPRAKS, sehingga peternak tak bingung mencari pelanggan di awal masa budidaya.
Upayanya melibatkan masyarakat sekitar ini sempat sukses. Namun, tiba-tiba datang bencana wabah flu burung pada tahun 2005. "Saat itu, saya adalah peternak ayam kampung yang terkena imbas terbesar di Sukabumi," tutur Ade.
Gara-gara flu burung, Ade harus merugi karena banyak ayamnya yang mati. Menurut Ade, tidak kurang dari 2.200 ekor atau hampir 75% dari seluruh ayam peliharaannya mati tiba-tiba.
Tapi, di balik bencana selalu ada hikmah. Merebaknya wabah flu burung, memberi Ade pengetahuan baru di dalam beternak ayam. Ia pun menggagas ide konsep budidaya ayam kampung dengan pola intensif.
Konsep ini pada dasarnya memberi pengertian bahwa lingkungan peternakan yang sehat akan menghasilkan produk ternak yang sehat.
Soalnya, ayam kampung bukanlah sumber virus flu burung, namun hanya ikut terkena imbas. "Sejak itu, saya mulai memperkenalkan budidaya ayam kampung dengan pola intensif," ujar Ade.
Ade pun getol menyosialisasikan budidaya ayam kampung dengan pola intensif ini, terutama menyangkut kebersihan kandang. Upayanya ini mulai dilirik banyak pihak. Pada 2006, misalnya, United States Agency for International Development (USAID) Indonesia tertarik ikut memberikan pelatihan bagi warga di kampungnya.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) juga pernah mengajaknya membuat buku berjudul "Restrukturisasi Peternakan dan Kebangkitan Peternakan Rakyat Ayam Kampung". Pada tahun 2006, Ade juga memperoleh penghargaan dari Bupati Sukabumi sebagai Pelopor Peternakan Ayam kampung Intensif.
Pada tahun 2007, ia juga bertemu dengan mantan Menteri Kesehatan (Alm) Endang Rahayu Setianingsih untuk membuat suatu penelitian.
Hasilnya pada tahun 2010, mereka mengagas program "Peternak Sehat, Ternak Sehat". Ade mengklaim, sekarang Sukabumi dikenal sebagai kiblat peternakan ayam dengan pola intensif.
Eks wartawan, Ade kini sukses beternak ayam
Siapa yang menyangka seorang mantan wartawan bisa banting setir menjadi pengusaha ayam yang sukses. Inilah jalan hidup dari seorang Ade Meirizal Zulkarnain. Pria yang saat ini berumur 49 tahun ini dulunya adalah seorang wartawan yang menjadi salah satu orang yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) di tahun 1996.
Saat itu, banyak anggota AJI yang terkena tekanan politik dari penguasa Orde Baru. Ade pun juga harus kehilangan pekerjaan.
Ade pun memutuskan untuk mencoba berbisnis. Awalnya, ia memilih bisnis sembako. Hingga pada tahun 2002, ia memulai bisnis peternakan ayam kampung. Ia melihat ada peluang bisnis yang ciamik dari bisnis ayam kampung.
Ade mulai belajar cara beternak ayam kampung. Saat itu, ia melihat budidaya ayam kampung masih dikelola tradisional atau dipelihara ala kadarnya.
Ia mulai berpikir untuk membudidayakan ayam kampung secara massal dan lebih profesional di tahun 2003. "Gizi pakan, kandang, dan pengelolaan diperhatikan sehingga menghasilkan ayam berkualitas," ujarnya.
Ade merogoh kocek Rp 45 juta sebagai modal awal. Ia membeli 3.000 ekor anak ayam. Awalnya, banyak orang yang menertawakan pembelian anak ayam dalam jumlah banyak itu. Namun, ia tetap yakin usahanya tidak sia-sia.
Benar saja, dalam beberapa bulan, ayamnya sudah besar, bahkan mencapai berat 1 kilogram dalam 70 hari. Padahal, jika dikelola secara tradisional, ayam kampung baru mencapai seberat itu dalam waktu empat hingga lima bulan.
Hingga saat ini, Ade berhasil memproduksi 120.000 hingga 150.000 anak ayam per bulan.
Ade gulirkan konsep ternak ayam intensif
Ade Meirizal Zulkarnain pertama kali memulai usaha ternak ayam pada tahun 2003 di Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya, banyak yang menertawakan bisnis ternak ayam kampungnya ini. Sebab, budidaya ayam kampung secara massal belum biasa dilakukan pada masa itu. Namun, Ade tak pernah berkecil hati. Ketika sukses, ia juga tidak sombong. Bahkan, setelah usahanya berhasil, ia terdorong mengajak masyarakat sekitar mengikuti jejaknya membudidayakan ayam kampung.Pada tahun 2004, Ade resmi mendirikan Kelompok Peternakan Rakyat Ayam Kampung Sukabumi (KEPRAKS). Di kelompok ternak ini, ia rajin membagi pengalaman dan pengetahuannya seputar ternak ayam kampung.
Ia juga menampung hasil ternak para anggota KEPRAKS, sehingga peternak tak bingung mencari pelanggan di awal masa budidaya.
Upayanya melibatkan masyarakat sekitar ini sempat sukses. Namun, tiba-tiba datang bencana wabah flu burung pada tahun 2005. "Saat itu, saya adalah peternak ayam kampung yang terkena imbas terbesar di Sukabumi," tutur Ade.
Gara-gara flu burung, Ade harus merugi karena banyak ayamnya yang mati. Menurut Ade, tidak kurang dari 2.200 ekor atau hampir 75% dari seluruh ayam peliharaannya mati tiba-tiba.
Tapi, di balik bencana selalu ada hikmah. Merebaknya wabah flu burung, memberi Ade pengetahuan baru di dalam beternak ayam. Ia pun menggagas ide konsep budidaya ayam kampung dengan pola intensif.
Konsep ini pada dasarnya memberi pengertian bahwa lingkungan peternakan yang sehat akan menghasilkan produk ternak yang sehat.
Soalnya, ayam kampung bukanlah sumber virus flu burung, namun hanya ikut terkena imbas. "Sejak itu, saya mulai memperkenalkan budidaya ayam kampung dengan pola intensif," ujar Ade.
Ade pun getol menyosialisasikan budidaya ayam kampung dengan pola intensif ini, terutama menyangkut kebersihan kandang. Upayanya ini mulai dilirik banyak pihak. Pada 2006, misalnya, United States Agency for International Development (USAID) Indonesia tertarik ikut memberikan pelatihan bagi warga di kampungnya.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) juga pernah mengajaknya membuat buku berjudul "Restrukturisasi Peternakan dan Kebangkitan Peternakan Rakyat Ayam Kampung". Pada tahun 2006, Ade juga memperoleh penghargaan dari Bupati Sukabumi sebagai Pelopor Peternakan Ayam kampung Intensif.
Pada tahun 2007, ia juga bertemu dengan mantan Menteri Kesehatan (Alm) Endang Rahayu Setianingsih untuk membuat suatu penelitian.
Hasilnya pada tahun 2010, mereka mengagas program "Peternak Sehat, Ternak Sehat". Ade mengklaim, sekarang Sukabumi dikenal sebagai kiblat peternakan ayam dengan pola intensif.
Ade bertekad mendongkrak pamor ayam lokal
Setelah wabah flu burung merebak pada tahun 2005, Ade Meirizal Zulkarnain getol menyosialisasikan konsep budidaya ayam kampung dengan pola intensif. Sejak itu pula, namanya semakin dikenal di bisnis peternakan ayam kampung.
Selain masyarakat Sukabumi, banyak masyarakat dari daerah lain tertarik mengikuti cara beternak intensif yang ditawarkannya.
"Peternak dari Padang, Jambi, sampai daerah kalimantan Timur pernah datang ke tempat saya untuk melihat konsep beternak dengan pola intensif yang saya terapkan," ujar Ade.
Konsep ini pada dasarnya memberi pengertian bahwa lingkungan peternakan yang sehat akan menghasilkan produk ternak yang sehat. Pola intensif ini di antaranya menekankan kebersihan kandang.
Ade sendiri memang tidak pelit berbagi ilmu dan pengalaman. Ia justru menginginkan, semakin banyak orang mengetahui pola peternakan intensif ini justru semakin bagus.
Dengan demikian, diharapkan semakin banyak juga orang yang tertarik terjun ke bisnis ini. Bila skala peternakan ayam kampung terus meningkat, bukan mustahil suatu saat ayam kampung bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Artinya, produksi ayam kampung di Indonesia bisa lebih dominan ketimbang ayam ras pedaging (broiler) atau impor. "Indonesia ini pusat domestikasi ayam dunia, tapi di sini ayam ras dan ayam impor yang lebih berkembang," kata Ade.
Berlandaskan keinginan tersebut, Ade gencar melakukan sosialisasi peternakan ayam kampung dengan pola intensif. Kerja kerasnya dalam menggalakkan produk ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Terbukti, pada 2007, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kemtan) mendirikan Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli).
Ade pun dipercaya menjabat ketua selama dua periode, mulai periode 2007-2012 dan 2012-2017. "Kami pun mulai melansir program 'Selamatkan Ayam Indonesia'," ujarnya.
Menurut Ade, sebanyak 80% jenis ayam asli Indonesia sudah masuk kategori hampir punah karena kurangnya minat masyarakat untuk membudidayakannya.
Makanya, di Himpuli, Ade aktif mengajak pemerintah untuk terlibat di dalam program-program pemberdayaan unggas lokal. Ia menargetkan, selama periode 2009 hingga 2019 mendatang, ayam lokal bisa berkontribusi minimal 25% dari total produksi unggas nasional.
Saat ini, kontribusinya hanya 6% dari total produksi unggas nasional. Namun, untuk mengejar target tersebut bukan persoalan mudah. Salah satu kendalanya, di Indonesia belum ada sarana pembibitan yang baik.
Selama ini, pola pembibitan ayam kampung di Indonesia masih cara lama dan belum profesional. Sebagai Ketua Himpuli sekaligus peternak ayam, Ade telah mendirikan pusat pembibitan ayam kampung dengan standar good breeding modern di Bogor.
Ade mendirikan pusat pembibitan ayam kampung ini pada bulan April 2012 lalu, dan dinamakan Unggul Pusat Pembibitan Ayam Kampung. Saat ini, pusat pembibitan ini mampu memproduksi 120.000 sampai 150.000 ekor anak ayam (days old chicken atau DOC) per bulan.
Dengan harga per ekor Rp 5.000, omzet Ade dari pembibitan ayam kampung ini mencapai Rp 500 juta per bulan. "Pemesanan anak ayam dari daerah Sumatera hingga Papua sudah pernah kami layani," tutur Ade.
Tidak ada komentar