Satukan Budaya Dunia lewat Musik
MENDAPAT beasiswa ke Amerika, Habibur Rahman Aluwan waswas pengurusan visa-nya bakal tak mulus gara-gara namanya yang khas negara Timur Tengah. Seperti diketahui, keluar-masuk Amerika memang tidak mudah belakangan ini. Pemuda yang akrab disapa Habib ini juga mendapat wanti-wanti panitia soal tersebut. Untungnya, kekhawatirannya tak terbukti. Ia lolos dan memperoleh visa dengan lancar.
Habib memang gemar berbahasa Inggris. Ilmu ini telah didalaminya sejak SMP. Bahkan, ia sempat menunda kuliahnya untuk ikut kelas bahasa Inggris di Pare, Jawa Timur.
Sempat ia merasakan malu. Dari 11 orang di sana, Habib jadi satu-satunya yang belum pernah ke luar negeri. Itu membuat ia tertantang mengikuti beasiswa ke luar negeri. “Saya malu dan minder,” kenangnya.
Namun, setelah peluang itu didapatnya, memperdalam kemampuan berbahasa Inggris bukan jadi misi utamanya. Kesempatan yang belum tentu datang dua kali itu dimanfaatkannya mengenal budaya dunia. Di sana, Habib dan peserta lainnya kebagian belajar di Arizona State University, Arizona. Benar saja, banyak budaya dunia ia temui di sana. Bukan hanya Amerika, beberapa negara dari benua-benua di dunia turut belajar di sana.
Memang tak mudah masuk begitu saja pada kemajemukan. Habib menyiasatinya dengan bergabung pada klub musik di kampus itu. Kebetulan ia gemar memainkan gitar. Dari situ, ia mulai akrab dengan anggota klub lainnya yang juga datang dari berbagai negara. Keakraban juga tak terhindarkan dari situ. “Di luar main musik, kami sering makan bareng di luar,” tuturnya.
Selain itu, Habib juga kerap memikat perhatian dekat atraksi sulap yang ia kuasai. Banyak respons positif diterimanya. Teman barunya bahkan bertambah dari kelas tetangga. Obrolan ringan juga menjadi senjata mempererat persahabatan mereka. Selain budaya, Habib dan rekannya yang juga datang dari Arab, Taiwan, dan beberapa negara lainnya, sering kali membagi cerita legenda makhluk halus di negara masing-masing.
Di luar belajar dan klub musik, banyak hal ia lakukan. Bersama teman-teman barunya itu, Habib kerap dibawa jalan-jalan ke berbagai tempat. Dengan mobil pribadi hingga angkutan bus. Salah satu tempat yang ia kunjungi adalah Grand Canyon yang terkenal di Amerika. “Bahkan kami hampir tembus ke Meksiko,” kata dia.
Tak ayal, Habib sempat jatuh sakit gara-gara kelelahan. Ia harus di-drop ke rumah sakit karenanya. Teguran dari rekan sesama peserta beasiswa yang ia ikuti mengalir deras sejak itu. Sejak akrab dengan teman baru di kampusnya, Habib memang minim waktu bersama rekan-rekan dari Indonesia. Setelah itu, pemuda kelahiran November 1988 ini harus bolak-balik rumah sakit untuk periksa berkala.
Meski telampau dekat, Habib mengaku masih membatasi jika ditemui kegiatan yang bertolak belakang dengan budaya Timur. Mahasiswa di sana memang sering menggelar pesta, seperti yang sebelumnya ia temui di layar kaca. Ia harus pintar-pintar menjaga jarak ketika ditemui hal demikian.
Selain kegiatan musik, Habib juga kerap berpartisipasi pada kegiatan sosial di sana. Ia beberapa kali menjadi relawan pada kegiatan tersebut. Seperti masak bersama yang kemudian dibagikan pada pengangguran dan gelandangan setempat.
Sempat juga ia dan rekan-rekannya mempertontonkan budaya Indonesia pada gelaran Indonesian Day di sekitar kampusnya. Habib tampil bak model profesional, berjalan di atas catwalk dengan pakaian adat Surabaya. “Luar biasa apresiasi yang diberikan,” sebutnya. Kini, Habib dan sahabat-sahabatnya itu tak lagi bersama, seiring kembalinya Habib ke Indonesia. Namun, komunikasi tetap berjalan melalui Facebook, E-mail, dan lainnya. Belakangan, mereka sepakat reuni pada tahun baru mendatang di Singapura.
Belakangan juga Habib mulai disibukkan kegiatan sosial kelompoknya di Samarinda yang tergabung dalam Abroad Student Alumni Assosiation (ASSA). Kelompok ini adalah mereka yang telah menjalani studi di luar negeri seperti Habib, Maulana, dan Windi. “Jadi ada keinginan para alumni bisa berkumpul,” sebutnya.
Dari bentukan ini, beberapa kegiatan dilakukan, mulai dari workshop, info beasiswa ke luar negeri, sharing pengalaman, dan belajar bahasa Inggris. Selain itu, ada juga kegiatan sosial yang mereka agendakan. Bukan hanya di Samarinda, mereka kerap mengunjungi daerah pinggiran membawa misi mereka. Salah satunya, Loa Kumbar. Di sana, mereka membuat Rumah Kita, wadah belajar informal, dengan perpustakaan mini dan fasilitas belajar sederhana. Guna memfasilitasi anak-anak yang kesulitan mendapat ilmu di sana. Tujuan mulia ini, demi membuat anak-anak di sana gemar belajar, dan bisa mendapat pengalaman belajar di luar negeri pula. “ Itu mimpi terbesar kami,” imbuhnya. (*/bby/wan/k4)
Tidak ada komentar