Axel Moeller, Presiden Audax Indonesia
Di antara aneka iven cycling besar di Indonesia, yang paling kondang mungkin adalah Lombok Audax. Event berjarak ekstrem itu hingga ratusan kilometer digelar sejak 2010. Axel Moeller, seorang pria asal Jerman yang cinta Lombok, adalah pemrakarsanya.
Kalangan penggemar sepeda serius, khususnya yang suka touring, sangat mungkin pernah tahu nama Audax. Ada “audax” di sini, di situ, dan di mana-mana.
Audax bukan untuk penggemar sepeda “biasa”. Audax adalah iven bersepeda jarak jauh (long distance), yang menempuh jarak hingga ratusan kilometer. Pesertanya tidak balapan, tidak berlomba mencatat waktu terbaik. Mereka hanya diberi batasan waktu.
Pokoknya, jam segini harus sampai!
Misalnya, Lombok Audax 2013, yang diselenggarakan pada Januari mendatang dan didukung penuh Jawa Pos Cycling. Iven tersebut akan menempuh jarak 300 kilometer dalam sehari! Peserta yang ikut diberi waktu sampai maksimal 17 jam untuk menyelesaikan rute yang disiapkan.
Lombok Audax bukanlah iven baru. Bahkan sebenarnya sudah tiga kali diselenggarakan (sejak 2010). Semuanya selalu dianggap sukses, dengan peserta yang mampu mengundang decak kagum.
Datang dari seluruh Indonesia, juga dari mancanegara. Tidak sedikit dari kalangan paling eksklusif, paling eksekutif.
Lombok Audax, sejauh ini, banyak dianggap sebagai yang terbaik.
Kesuksesan itu adalah impian seorang penggemar sepeda asal Jerman, Axel Moeller. Lelaki 60 tahun tersebut merupakan mantan atlet dayung tim nasional Jerman yang kini menetap di Indonesia dan sangat, sangat, sangat cinta pada Pulau Lombok.
Moeller masih ingat betul satu kejadian yang membuat dirinya langsung jatuh cinta pada Lombok. Peristiwa itu tak bisa dibilang sebagai kenangan manis, karena sebenarnya membuat dirinya mengalami patah tulang di tiga tempat.
Namun, saat ditemui di kediamannya di Taman Sejahtera, Pejeruk Ampenan, Mataram, kemarin (14/12), Moeller menceritakannya seolah-olah itu adalah kejadian paling manis dalam hidupnya.
“Kecelakaan tersebut membuat saya jatuh cinta pada Lombok dan saya ingin selamanya tinggal di sini,” tegasnya.
Saat itu tahun 2008. Moeller bersepeda sendirian mengikuti jalanan di pesisir pantai Lombok. Kendati tanjakan dan turunan tajam mewarnai garis pantai, lelaki kelahiran Lubeck, Jerman, tersebut justru makin bersemangat.
Ketika mencapai turunan di Nipah, jalur menurun tajam. Bukannya mengurangi kecepatan, dia justru membiarkan dirinya meluncur cepat. “Berat badan saya semakin membuat sepeda meluncur kencang,” kenang Moeller, yang bertinggi badan 190 cm.
Moeller lantas disambut kelokan tajam. Sejumlah pasir ikut menyambut di permukaan jalan. Meski tuas rem ditarik, sepeda tetap tak bisa dikendalikan. Roda selip dan dia terpelanting, lantas tak sadar diri. “Saya tidak ingat apa-apa. Rasanya saya mau mati saja,” tuturnya.
Moeller tidak tahu. Rupanya, tubuhnya terpelanting hingga menimpa pohon-pohon dan tumbuhan di pinggir jalan. Sepedanya tidak mengalami kerusakan berat, tapi helmnya hancur dan barang-barang bawaannya berceceran.
Penduduk sekitar menemukannya telentang di atas jalan tanpa pertolongan. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Warga Nipah pun beramai-ramai menolongnya. Mereka mengumpulkan barang-barang Moeller dan mencegat mobil yang lewat untuk membantu membawanya ke rumah sakit.
Saat sadar, Moeller mendapati kondisi badannya babak belur. Tulang bahu kanan dan dua tulang rusuknya patah. “Saat itulah saya diberi tahu bahwa saya ditolong warga kampung. Mereka membawa saya ke rumah sakit beserta barang-barang saya. Yang mengagumkan, tidak ada satu pun barang saya yang hilang. Saya sangat berterima kasih kepada mereka. Saat saya mau memberi imbalan, tidak ada yang mau menerima. Ini benar-benar mengagumkan,” ceritanya dengan mata berbinar-binar.
Sejak saat itulah, hubungan Moeller dengan warga terjalin baik. Setiap kali dia bersepeda melewati turunan maut itu, warga mengenalnya sebagai lelaki yang hampir mati karena kecelakaan sepeda. Moeller juga sering menyapa mereka dan mereka menyapa balik. “Saya berutang nyawa kepada mereka,” tegasnya.
Sejak saat itu juga, Moeller tidak percaya anggapan miring yang mengatakan bahwa Indonesia tidak aman. “Di Indonesia lebih mudah mencari teman daripada di Jerman. Di sini sudah biasa orang-orang berkumpul dan tertawa bersama-sama dan kita bisa seperti keluarga,” katanya.
Saat ditemui JPNN di rumahnya, Moeller menunjukkan beberapa sepeda koleksinya. Yang dipajang di ruang tamu adalah sepeda pabrikan Jerman, Storck Scentron, keluaran 2012. Dia melengkapinya dengan groupset elektronik Campagnolo Super Record EPS. Sepeda tersebut dia beli langsung dari salah satu dealer terbesar Storck di Koln (Cologne), Jerman. Sepeda kedua diletakkan di ruang tengah, tepat di belakang ruang makan. Sepeda keluaran Eddy Merckx, jenis EMX-1.
Tapi, Moeller lantas menunjukkan satu sepeda yang sangat dia cintai. “This is sexy bike,” ujarnya setelah membuka pintu bagasi belakang Suzuki APV di garasi rumahnya. Isinya, sebuah Polygon Helios 780. Sepeda keluaran 2007 tersebut terlihat sedikit kotor karena justru yang paling sering dipakai.
Sejak terjatuh pada 2008 itu, Moeller mulai memberi tahu rekan-rekannya tentang Lombok. Dia juga beberapa kali mengajak dua putrinya, Miriam, 27, serta Madeleine, 25, datang dari Jerman dan bersepeda keliling pantai.
Menurut Moeller, kedua putrinya benar-benar terpana atas keindahan Lombok. Mereka yang awalnya ke Bali untuk berlibur justru minta lebih lama di Lombok bersama sang ayah.
Miriam dan Madeleine merupakan buah hati pernikahan Moeller dengan Yvonne Moeller pada 1982. Sang istri meninggal pada 1998 karena aneurisma.
“Setelah kematian istri, saya keluar dari semua pekerjaan dan saya mendampingi kedua putri saya.
Saya ajak mereka berjalan-jalan ke berbagai negara. Sampai akhirnya saya sampai di Indonesia dan Lombok. Saya pun tahu bahwa hidup saya selanjutnya akan di sini,” tuturnya.
Setelah kedua anaknya dewasa, pada 2006, Moeller mulai menetap di Lombok. Karena Miriam dan Madeleine masih belum terbiasa, dia berkali-kali harus rela bolak balik Jerman-Lombok untuk menemani mereka. Namun, lama-kelamaan, mereka akhirnya benar-benar bisa hidup mandiri dari sang ayah. Moeller lantas menjalin pernikahan dengan Tenne Permatasari yang orang Lombok asli.
Dua putrinya itu juga yang mendorong Moeller untuk mengundang lebih banyak orang ke Lombok. Apalagi, lelaki yang lahir pada 6 Maret 1952 tersebut memiliki banyak rekan yang juga gemar bersepeda.
Moeller lantas berpikir format apa yang pas dengan medan di Lombok. Dia lantas ingat kebiasaannya bersepeda jarak jauh saat masih di Luberck dan Hamburg dulu.
Inilah cikal bakal Audax Indonesia? Moeller mencari informasi tentang Audax langsung ke Perancis. Ada dua macam lembaga resmi Audax. Satu lembaga bernama ACP (Audax Club Parisienne) dan satunya lagi adalah L’Union Des Audax Francais (UAF). Lembaga pertama memiliki aturan bahwa Audax adalah bersepeda bebas jarak jauh. Mereka hanya dibekali peta dan harus menuju titik finis sendiri-sendiri. “Saya melihat, itu tidak cocok. Orang Indonesia orangnya ramai suka berkumpul,” katanya.
Hal itulah yang membawa Moeller ke lembaga kedua, yakni UAF. Audax versi UAF cuma punya tiga syarat pokok. Yakni, start together, ride together, dan finish together. Mereka hanya perlu menempuh kecepatan rata-rata 22,5 kilometer per jam.
Moeller langsung mengurus lisensinya. Baik via surat-menyurat maupun langsung mendatangi organisasi tersebut.
Pada 2010, dia akhirnya mendirikan Audax Indonesia dengan Lombok Audax sebagai iven pertama saat itu. (***)
Sumber
Tidak ada komentar