Oleh Teddy Gumilar
JAKARTA. Biasanya, keinginan memiliki tempat tinggal sendiri semakin besar setelah seseorang berkeluarga. Motif utamanya adalah menunjukkan kemandirian dengan tidak lagi menumpang di rumah orangtua, mertua, atau kontrakan.
Namun, keinginan tersebut belum tentu dapat segera terwujud karena membeli rumah atau apartemen sendiri membutuhkan uang tak sedikit. Opsi yang paling banyak dipilih para keluarga muda adalah membeli hunian lewat kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen (KPA).
Jangka waktunya bisa 10 tahun sampai 25 tahun, disesuaikan dengan kemampuan mencicil setiap bulan. Salah satu faktor penentu jangka waktu KPR adalah uang muka atau down payment (DP) dan besaran cicilan. Lazimnya, porsi uang muka sebesar 30% dari harga rumah. Sedangkan 70% merupakan nilai kredit yang harus dicicil ke bank plus bunganya.
Semakin besar uang muka yang disetor, jumlah cicilan saban bulan kian kecil dan jangka waktu kredit bisa lebih pendek. Tentu saja, ini merupakan kondisi ideal. Sebab, dengan skenario seperti ini, pendapatan saban bulan tidak akan habis hanya untuk mencicil KPR.
Masalahnya, tidak semua orang mampu menyediakan duit banyak untuk membayar uang muka KPR. Apalagi, dananya dalam bentuk tunai. Cuma, kondisi tersebut tidak boleh menyurutkan keinginan Anda untuk memiliki hunian sendiri.
Selama ini, para pengembang sering memberikan fasilitas angsuran uang muka. Umumnya, jangka waktu cicilan DP ini antara enam bulan hingga 12 bulan dan tidak dikenai bunga. Tapi, jika mengambil opsi tersebut, angsuran DP yang mesti Anda bayar lebih besar ketimbang angsuran KPR.
Contohnya, harga rumah yang mau Anda beli Rp 200 juta. Berarti, uang muka yang harus disetor adalah 30% atau Rp 60 juta dan nilai KPR Rp 140 juta. Jika dicicil selama 12 bulan, berarti, saban bulan Anda harus membayar Rp 5 juta. Sementara cicilan pokok KPR bertenor 10 tahun, di luar bunga kredit, sekitar Rp 1,16 juta per bulan. Asal tahu saja, Anda harus menunggu cicilan uang muka itu lunas sebelum bisa melakukan akad kredit dengan bank.
Menurut Sri Khurniatun, perencana keuangan dari Kurnia Consulting, Anda bisa menggali sumber pembiayaan uang muka dengan memanfaatkan KPR di bank yang menawarkan program uang muka 0%. Jadi, pemohon KPR hanya membayar biaya untuk akad kredit, seperti biaya notaris, dan bank akan menalangi 100% harga rumah tersebut.
Misalnya, KPR Bukopin Syariah yang menawarkan skema musyarakah wal ijarah. Si nasabah bersama bank membeli rumah dengan proporsi tertentu (akad musyarakah). Namun, Anda harus berhati-hati mengukur kemampuan membayar cicilan KPR. “Jangan sampai karena plafon KPR-nya besar, Anda justru kesulitan membayar cicilan,” kata Sri.
Skema pembiayaan
Cara lain membiayai uang muka KPR adalah melalui program Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP) yang ditawarkan PT Jamsostek. Uang muka yang mengucur lewat program ini memanfaatkan iuran Jam-sostek. Otomatis, penikmat program ini hanyalah pekerja yang jadi peserta Jamsostek.
Kepala Biro Peningkatan Kesejahteraan Peserta serta Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKP dan KBL) Jamsostek Ahmad Riyadi menjelaskan, plafon pinjaman ini berkisar Rp 20 juta hingga Rp 50 juta. Peserta dengan gaji bulanan hingga Rp 5 juta bisa mendapat pinjaman maksimal Rp 20 juta.
Sementara, peserta Jamsostek yang berpenghasilan Rp 5 juta–Rp 10 juta per bulan bisa mendapat PUMP hingga Rp 35 juta dan Rp 50 juta jika bergaji lebih dari Rp 10 juta. “Batas pengembaliannya selama 10 tahun,” kata Ahmad.
Yang menarik, bunga pinjamannya tergolong sangat ringan, yaitu 3% per tahun flat. Selain itu, Jamsostek memberikan bantuan biaya administrasi KPR sebesar Rp 500.000 yang dapat dipakai untuk membayar sebagian biaya administrasi KPR.
Sri mencermati, program pembiayaan uang muka hunian saat ini belum banyak. Selain Jamsostek, skema sejenis ditawarkan oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) lewat program Pinjaman Uang Muka (PUM) khusus untuk pegawai negeri sipil (PNS). Tapi, plafon pinjamannya maksimal hanya Rp 15 juta dan bunga pinjaman ini mencapai 7,5% setahun.
Para perencana keuangan tidak mempersoalkan jika beban cicilan utang uang muka dan cicilan KPR harus dibayar pada waktu bersamaan. Syaratnya, total dua angsuran itu tidak melebihi 30% penghasilan rutin bulanan. Biasanya, ini juga merupakan salah satu syarat persetujuan KPR oleh bank.
Sri menambahkan, tidak ada patokan baku soal porsi angsuran uang muka dan cicilan KPR. “Keduanya jadi beban rutin pengeluaran per bulan,” kata Sri.
Mike Rini, perencana keuangan dari MRE Financial & Business Advisory, membuat ilustrasi. Misalnya, sebuah keluarga menanggung angsuran uang muka sekitar Rp 960.000 dan cicilan KPR Rp 1,8 juta per bulan. Komposisi ini cocok bagi orang berpendapatan minimal Rp 10 juta.
Tapi, bagaimana kalau pinjaman DP yang diperoleh tak sampai 30% dari harga rumah? Sebagai solusi, Mike menyarankan Anda berburu rumah ketika ada pameran. Di ajang itu, banyak pengembang menawarkan uang muka kecil. Misalnya 10% dari harga rumah.
Alternatif lain, silakan menabung dulu. Simpan sebagian tunjangan hari raya dan bonus. Insya Allah, paling lama dua tahun, Anda bisa memenuhi kebutuhan uang muka itu.
Tidak ada komentar