Oleh Andi Fachrizal (Kontributor Kalimantan Barat)
KURUN waktu tiga tahun terakhir, petani madu hutan yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) gagal panen. Iklim tak menentu, berdampak kuat pada keseimbangan ekologi dan memicu lebah madu hutan (Apis dorsata) hengkang dari kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar).
“Ini sudah tahun ketiga kami gagal panen. Lebah-lebah madu tak pernah datang lagi karena pakan tidak ada. Kemungkinan dipengaruhi pergantian musim yang tak tentu. Tahun ini, kemarau dan hujan datang sampai tiga kali,” kata Suharjo, warga Semangit, Desa Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kapuas Hulu, Selasa(9/10/2012).
Jenis bunga yang menjadi pakan lebah hutan ini dari berbagai tumbuhan liar di kawasan TNDS. Dia mencontohkan, bunga penghasil madu adalah tembesu (Fragrarea fragrans), putat (Baringtonia acutangula), masong (Syzygium cauliflora), samak (Syzygium sp). Lalu, kayu taun (Carallia bracteata), akar libang (Monocarpus sp), merbemban (Xanthophyllum sp), kawi (Shorea belangeran) dan menungau (Vatica menungau).
Perubahan iklim global ini secara langsung memengaruhi siklus hidup lebah-lebah madu hutan. Lebah madu menghilang di musim kemarau lantaran asap dari kebakaran hutan. Di musim hujan, tikung-tikung tempat lebah bersarang sudah telanjur terendam banjir. Suharjo kehilangan satu sisi mata pencarian. Biasa, musim panen datang pada Januari, Maret, dan Desember. “Musim seperti ini, saya hanya menggantungkan hidup dari budidaya toman dan ikan-ikan air tawar lain di sekitar danau.”
Setiap Oktober tiba, para petani madu seharusnya sudah membersihkan tikung-tikung. Sebulan kemudian, lebah-lebah akan datang membuat sarang pada tikung. Barulah, Desember hingga Januari, petani memasuki musim panen madu.
Pendamping petani madu, Thomas Irawan Sihombing mengatakan, akibat iklim yang tidak menentu, petani madu rugi besar. “Beruntung karena mata pencarian utama para petani madu itu nelayan. Madu hutan hanya penghasilan tambahan.”
Sejak 2007, APDS berhasil menerapkan Sistem Pengawasan Mutu Internal (SPMI) bagi produsen kelompok kecil usaha madu hutan. Tujuannya, agar sertifikat organik dapat diraih sekaligus menjamin sekitar 4,3 ton madu hutan yang diproduksi itu organis.
Kini, sekitar 150 orang petani yang menjadi anggota APDS tidak lagi bisa bercerita hasil. Yang ada hanya menggantungkan harapan agar lebah-lebah kembali dan menciptakan sarang di tikung-tikung petani.
Kurun 2008-2009, panen madu hutan mencapai 16,5 ton, 10 ton dijual ke Dian Niaga Jakarta. Sisanya, ke Riak Bumi, dengan total omzet Rp517 juta.
Irawan berharap, dari 33 periau yang terbentuk, akan menghasilkan produk madu hutan hingga 30 ton, dengan perkiraan omzet Rp4 miliar. Nilai ekonomis yang tidak kecil dan diperoleh dari proses pembangunan berkelanjutan.
Focal Point Kalimantan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Lorens, membenarkan ikhwal kegagalan panen para periau (petani madu) di TNDS. “Tikungnya tidak dihinggapi lebah.”
Kondisi ini belum disertai aksi nyata dari pemerintah, terutama proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Pemerintah masih fokus upaya memadamkan api kebakaran lahan. Belum ada intensif penyadaran dan mendorong inovasi sumber penghidupan bagi masyarakat.”
Sumber
Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
KURUN waktu tiga tahun terakhir, petani madu hutan yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) gagal panen. Iklim tak menentu, berdampak kuat pada keseimbangan ekologi dan memicu lebah madu hutan (Apis dorsata) hengkang dari kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar).
“Ini sudah tahun ketiga kami gagal panen. Lebah-lebah madu tak pernah datang lagi karena pakan tidak ada. Kemungkinan dipengaruhi pergantian musim yang tak tentu. Tahun ini, kemarau dan hujan datang sampai tiga kali,” kata Suharjo, warga Semangit, Desa Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kapuas Hulu, Selasa(9/10/2012).
Jenis bunga yang menjadi pakan lebah hutan ini dari berbagai tumbuhan liar di kawasan TNDS. Dia mencontohkan, bunga penghasil madu adalah tembesu (Fragrarea fragrans), putat (Baringtonia acutangula), masong (Syzygium cauliflora), samak (Syzygium sp). Lalu, kayu taun (Carallia bracteata), akar libang (Monocarpus sp), merbemban (Xanthophyllum sp), kawi (Shorea belangeran) dan menungau (Vatica menungau).
Perubahan iklim global ini secara langsung memengaruhi siklus hidup lebah-lebah madu hutan. Lebah madu menghilang di musim kemarau lantaran asap dari kebakaran hutan. Di musim hujan, tikung-tikung tempat lebah bersarang sudah telanjur terendam banjir. Suharjo kehilangan satu sisi mata pencarian. Biasa, musim panen datang pada Januari, Maret, dan Desember. “Musim seperti ini, saya hanya menggantungkan hidup dari budidaya toman dan ikan-ikan air tawar lain di sekitar danau.”
Setiap Oktober tiba, para petani madu seharusnya sudah membersihkan tikung-tikung. Sebulan kemudian, lebah-lebah akan datang membuat sarang pada tikung. Barulah, Desember hingga Januari, petani memasuki musim panen madu.
Pendamping petani madu, Thomas Irawan Sihombing mengatakan, akibat iklim yang tidak menentu, petani madu rugi besar. “Beruntung karena mata pencarian utama para petani madu itu nelayan. Madu hutan hanya penghasilan tambahan.”
Perkampungan penduduk di kawasan Danau Sentarum. Foto: Andi Fachrizal
Sejak 2007, APDS berhasil menerapkan Sistem Pengawasan Mutu Internal (SPMI) bagi produsen kelompok kecil usaha madu hutan. Tujuannya, agar sertifikat organik dapat diraih sekaligus menjamin sekitar 4,3 ton madu hutan yang diproduksi itu organis.
Kini, sekitar 150 orang petani yang menjadi anggota APDS tidak lagi bisa bercerita hasil. Yang ada hanya menggantungkan harapan agar lebah-lebah kembali dan menciptakan sarang di tikung-tikung petani.
Kurun 2008-2009, panen madu hutan mencapai 16,5 ton, 10 ton dijual ke Dian Niaga Jakarta. Sisanya, ke Riak Bumi, dengan total omzet Rp517 juta.
Irawan berharap, dari 33 periau yang terbentuk, akan menghasilkan produk madu hutan hingga 30 ton, dengan perkiraan omzet Rp4 miliar. Nilai ekonomis yang tidak kecil dan diperoleh dari proses pembangunan berkelanjutan.
Focal Point Kalimantan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Lorens, membenarkan ikhwal kegagalan panen para periau (petani madu) di TNDS. “Tikungnya tidak dihinggapi lebah.”
Kondisi ini belum disertai aksi nyata dari pemerintah, terutama proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Pemerintah masih fokus upaya memadamkan api kebakaran lahan. Belum ada intensif penyadaran dan mendorong inovasi sumber penghidupan bagi masyarakat.”
Sumber
Tidak ada komentar