Oleh Mardiyanto *)
SAAT ini pemerintah tengah serius menggodok kurikulum pendidikan nasional yang baru yang disebut-sebut sebagai "Kurikulum Perekat Bangsa". Jika tidak ada aral melintang, rencananya kurikulum baru yang belum diberi nama tersebut akan diberlakukan mulai Tahun Pelajaran 2013-2014. Alasan yang melandasi perubahan kurikulum adalah untuk menyempurnakan kurikulum 2008 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dinilai cenderung mengakomodasi kemampuan kognitif semata dan mengerdilkan kecerdasan berpikir serta pembentukan karakter.
Padahal jika diperhatikan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum pendidikan nasional haruslah memperhatikan:
a) peningkatan iman dan takwa;
b) peningkatan akhlak mulia;
c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d) keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f) tuntutan dunia kerja;
g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h) agama;
i) dinamika perkembangan global; dan
j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Namun pada kenyataannya, unsur ilmu pengetahun dan teknologilah yang menjadi tuntutan utama, sedangkan unsur lainnya sekadar dilekatkan pada mata pelajaran tertentu.
Patut ditunggu apakah kurikulum yang baru tersebut akan memuat secara konkret pembentukan karakter budaya bangsa dalam setiap pembelajaran di kelas. Ataukah masuk di dalam muatan materi pelajaran yang baru, sebab beberapa waktu lalu muncul wacana untuk menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti.
Keharusan
Bagi seorang pendidik, perubahan kurikulum bukanlah hal yang baru sehingga mereka tidak perlu alergi. Sejak Indonesia merdeka hingga kini sudah delapan kali pergantian kurikulum, yakni kurikulum 1947, 1954, 1968, 1975, 1984, 1994 (KBK), dan terakhir 2006 (KTSP). Perubahan kurikulum memang suatu keharusan ketika muatan materi sudah tidak lagi mutakhir (up to date) dan seiring dengan perkembangan zaman, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun patut diperhatikan, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga kurang baik karena menunjukkan kegamangan pemerintah dalam menentukan arah pendidikan nasional.
Tak mengherankan jika pemeo "ganti menteri ganti kurikulum" amat kental di dalam dunia pendidikan kita. Kita berharap kurikulum pendidikan nasional yang baru tidak sekadar tambal sulam untuk menutupi kekurangan kurikulum sebelumnya, tetapi lebih jauh dari itu, mampu membawa perubahan yang konkret wajah pendidikan nasional.
Pendidik selaku ujung tombak di lapangan juga harus segera mengubah mind set keliru selama ini yang memandang perubahan kurikulum hanya sebagai perubahan materi pembelajaran. Itu terlalu sempit. Sebab, perubahan kurikulum hakikatnya adalah perubahan cara berpikir (paradigma), tujuan, dan cara mengajar. Untuk itu, mari para pendidik segera berbenah menyambut kurikulum baru. (60)
*) Mardiyanto SPd, guru di SMP 2 Sukoharjo, Wonosobo.
Sumber
banksoalmatematika.com
Ilustrasi
SAAT ini pemerintah tengah serius menggodok kurikulum pendidikan nasional yang baru yang disebut-sebut sebagai "Kurikulum Perekat Bangsa". Jika tidak ada aral melintang, rencananya kurikulum baru yang belum diberi nama tersebut akan diberlakukan mulai Tahun Pelajaran 2013-2014. Alasan yang melandasi perubahan kurikulum adalah untuk menyempurnakan kurikulum 2008 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dinilai cenderung mengakomodasi kemampuan kognitif semata dan mengerdilkan kecerdasan berpikir serta pembentukan karakter.
Padahal jika diperhatikan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum pendidikan nasional haruslah memperhatikan:
a) peningkatan iman dan takwa;
b) peningkatan akhlak mulia;
c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d) keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f) tuntutan dunia kerja;
g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h) agama;
i) dinamika perkembangan global; dan
j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Namun pada kenyataannya, unsur ilmu pengetahun dan teknologilah yang menjadi tuntutan utama, sedangkan unsur lainnya sekadar dilekatkan pada mata pelajaran tertentu.
Patut ditunggu apakah kurikulum yang baru tersebut akan memuat secara konkret pembentukan karakter budaya bangsa dalam setiap pembelajaran di kelas. Ataukah masuk di dalam muatan materi pelajaran yang baru, sebab beberapa waktu lalu muncul wacana untuk menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti.
Keharusan
Bagi seorang pendidik, perubahan kurikulum bukanlah hal yang baru sehingga mereka tidak perlu alergi. Sejak Indonesia merdeka hingga kini sudah delapan kali pergantian kurikulum, yakni kurikulum 1947, 1954, 1968, 1975, 1984, 1994 (KBK), dan terakhir 2006 (KTSP). Perubahan kurikulum memang suatu keharusan ketika muatan materi sudah tidak lagi mutakhir (up to date) dan seiring dengan perkembangan zaman, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun patut diperhatikan, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga kurang baik karena menunjukkan kegamangan pemerintah dalam menentukan arah pendidikan nasional.
Tak mengherankan jika pemeo "ganti menteri ganti kurikulum" amat kental di dalam dunia pendidikan kita. Kita berharap kurikulum pendidikan nasional yang baru tidak sekadar tambal sulam untuk menutupi kekurangan kurikulum sebelumnya, tetapi lebih jauh dari itu, mampu membawa perubahan yang konkret wajah pendidikan nasional.
Pendidik selaku ujung tombak di lapangan juga harus segera mengubah mind set keliru selama ini yang memandang perubahan kurikulum hanya sebagai perubahan materi pembelajaran. Itu terlalu sempit. Sebab, perubahan kurikulum hakikatnya adalah perubahan cara berpikir (paradigma), tujuan, dan cara mengajar. Untuk itu, mari para pendidik segera berbenah menyambut kurikulum baru. (60)
*) Mardiyanto SPd, guru di SMP 2 Sukoharjo, Wonosobo.
Sumber
Tidak ada komentar