TEMUAN BARU: Asmorejo (67) yang dikenal warga Grogol Kecamatan Plupuh Jawa Tengah dengan sebutan Pak Sinyur sedang memperlihatkan temuan fosil berupa lutut Gajah Purba beserta gading yang tidak utuh di rumahnya. Asmorejo adalah warga lokal yang berprofesi sebagai petani sekaligus pencari fosil di sekitar Sangiran. Sinyur paling banyak menyumbang temuannya ke Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos
Tawaran harga fosil gajah purba yang"jauh lebih mahal di pasar gelap tak menggiurkan hati Sinyur. Ratusan temuan purbakala dengan telaten dia setorkan ke"Museum Sangiran, meski rumahnya masih gedek dan berlantai tanah.
Anggit Satriyo Nugroho-Guslan Gumilang, Sangiran
DUA batu berbentuk silinder sepanjang 50 cm berdiameter sekitar 10 sentimeter itu dikeluarkan Sinyur dari dalam karung. Tanpa cemas atau khawatir, dia lalu menjemur dua batu tersebut di kebun belakang rumahnya di Desa Grogol Ledokan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Padahal, batu tersebut bukanlah batu biasa. Sinyur meyakini temuan itu adalah gading gajah purba (Stegodon trighonochepalus) yang telah membatu dan berubah menjadi fosil.
Gajah purba tersebut diperkirakan hidup di kawasan Sangiran 700 ribu tahun silam. Selama zaman itu, di Sangiran hidup tiga jenis gajah, yakni Stegodon, Mastodon, dan Elephas.
Sangiran merupakan situs arkeologi yang sejak 1996 tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO (badan PBB yang mengurusi pendidikan, sains, dan kebudayaan). Wilayah seluas 56 kilometer itu terletak di lembah Bengawan Solo dan secara administratif masuk Kabupaten Sragen dan Karanganyar, sekitar 15 kilometer sebelah utara Solo.
Adalah Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, seorang paleontolog sekaligus geolog, yang memulai penelitian di Sangiran pada 1934. Di kawasan itu pula ditemukan fosil nenek moyang manusia pertama, Phitecanthropus erectus, yang lantas membuat nama Sangiran mendunia.
Pada zaman 700 ribu tahun lalu, Sangiran masih berupa kawasan hutan terbuka sebelum perubahan iklim mengubahnya menjadi sabana yang luas. Kini kontur alam di Sangiran berupa tebing-tebing dan tanah yang tandus.
Sinyur menemukan batu yang diduga gading tersebut di sebuah tebing tak jauh dari rumahnya. "Ini tadi baru saya temukan. Sayang, baru saya angkat, sudah putus jadi dua," kata suami Surati itu ketika ditemui Senin lalu (27/11).
Dia lalu membawa masuk fosil gading ke rumahnya yang berdinding gedek alias anyaman bambu. Tanpa perawatan khusus, fosil gading tersebut diletakkan pria 67 tahun itu di lantai rumahnya yang masih berupa"tanah. Di rumah tersebut, dia hanya tinggal bersama sang istri. Kebanyakan anaknya menjadi tenaga kerja di Malaysia.
"Ini harus cepat-cepat saya setorkan ke museum. Ini sudah jadi kewajiban. Ini aset negara," tegas bapak lima anak tersebut.
Museum yang dia maksud adalah Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS) di Kecamatan Kalijambe, Sragen. Jarak museum tersebut dari rumahnya sekitar 7 kilometer. Karena itu, Sinyur pun harus menembus hutan jati dengan jalanan rusak berkelok.
Di pojokan rumahnya, dia memiliki banyak temuan. Namun, tidak berupa tulang-tulang satwa purba yang utuh. Fosil-fosil tersebut lebih tepat disebut remukan tulang, sehingga agak sulit diidentifikasi jenis fosil satwa yang dimaksud itu.
Namun, temuan paling dahsyat, ungkap Sinyur, terjadi dua tahun silam. Ketika itu, dirinya menemukan gading gajah yang masih utuh berukuran 2,5 meter. Gading tersebut sudah diserahkan ke museum.
Dia mengaku mendapat imbalan Rp 5,5 juta gara-gara penemuan tersebut. Gara-gara penemuan itu pula, Pak Sinyur diliput sejumlah media massa di Jawa Tengah.
Ya, saban hari, selain bertani di kebun yang tak jauh dari rumahnya, Sinyur adalah pemburu tulang belulang gajah purba di kawasan situs Sangiran. Aktivitas tersebut dia rintis sejak 14 tahun silam.
Nama asli Sinyur sebenarnya Asmorejo. Namun, karena pandai memperbaiki radio warga yang rusak, warga desa setempat memanggilnya Pak Insinyur alias Pak Sinyur. Padahal, dia sebenarnya hanya tamatan sekolah rakyat (SR, setingkat SD atau sekolah dasar) di Semarang.
Saat berburu tulang-tulang purba tersebut, modal Sinyur cukup peralatan sederhana, yakni dua linggis dan kuas besar. Dia lantas menembus belantara hutan di kawasan situs Sangiran yang berupa tebing dan jurang.
Menurut dia, di setiap tempat yang digali, pasti ditemukan tulang-tulang hewan purba. "Kangge kulo mboten angel. Wong kulo nduduk tanah mesti nemu (Bagi saya, menemukan fosil itu bukan pekerjaan sulit. Sebab, saat menggali, saya selalu menemukannya)," ujarnya.
Kemampuannya mengidentifikasi tanah yang menyimpan fosil purba tersebut berawal 14 tahun silam. Yakni, ketika Sinyur membeli sebidang lahan tak jauh dari rumahnya. "Tanahe menika kulo paculi pasire, terus disade (tanah itu saya cangkuli pasirnya, terus dijual)," ungkapnya.
Rupanya, di balik timbunan pasir tersebut tersimpan banyak fosil purba. Dia sering menemukan potongan tulang kerbau purba (Bubalus Paleo Karabau), kudanil (Hippopotamus), hingga gajah purba.
Namun, yang paling sering ditemukan adalah fosil gajah. Tak heran, selain lewat temuan tulang belulang manusia purba, Sangiran dikenal karena banyaknya penemuan tulang satwa purba berupa gajah. Saat ini, pintu gapura di kawasan museum tersebut juga berupa gading gajah berukuran besar.
Gara-gara pengalamannya itu, Sinyur jadi mengenal tanah yang menyimpan fosil tersebut. Selama ini, tanah yang menyimpan fosil selalu ditandai dengan adanya batu padas, yakni batuan putih yang keras dan sedikit pasir. Bila sudah menemukan tanah dengan ciri seperti itu, dia yakin di bawahnya tersimpan fosil.
Namun, Sinyur selalu menyerahkan semua temuannya yang berjumlah ratusan ke museum. Padahal, kalau mau "nakal", dirinya bisa saja menjual temuan tersebut kepada pedagang gelap. Tentu, imbalan yang didapat jauh lebih besar.
Banyak kawan Sinyur yang menempuh jalan tersebut. Kehidupan mereka pun kini sudah lebih mapan. Bahkan sampai memiliki rumah keren, mobil mewah, dan bisnis suvenir yang mapan.
Akhir-akhir ini, kawasan Sangiran memang dirundung persoalan perdagangan gelap fosil. Warga yang menemukan fosil diam-diam tak menyetorkannya ke museum, melainkan menjualnya ke makelar, lalu ditransaksikan dengan pihak asing.
Warga nekat melakukan itu karena dibekap persoalan ekonomi. Hal tersebut tak lepas dari kondisi lahan di Sangiran yang tidak terlalu subur untuk bercocok tanam. Jadilah satu-satunya jalan untuk mendapat uang dengan cepat adalah berdagang fosil.
Pihak berwenang sebenarnya sudah memasang banyak papan pengumuman berisi ancaman pidana bagi warga yang nekat berdagang fosil. Papan-papan tersebut terpacak di sudut-sudut kampung kompleks situs Sangiran seluas 56 km persegi itu. Tapi, tetap saja pasar gelap perdagangan fosil terus berlangsung.
Namun, Sinyur tak mau menempuh langkah itu. Bagi dia, berburu fosil lalu menyerahkannya kepada pihak berwenang lebih memuaskan batin ketimbang mencari materi. Bahkan, uang yang diterima dari museum kerap dibagi-bagikan kepada teman-temannya sesama penggali fosil.
"Kalau langsung dijual ke pedagang gelap, sebenarnya saya bisa langsung membikin tembok rumah. Tapi, apa ya harus begitu" Rasanya kurang pas," ucapnya.
Oleh museum, fosil gading gajah dihargai tak sampai Rp 1 juta. Padahal, bila dijual kepada pedagang gelap fosil, harganya berlipat-lipat sampai menembus Rp 50 juta.
Gara-gara ketekunannya menyetorkan fosil ke museum itu, pihak museum menyebut Sinyur sebagai kontributor alias penyetor fosil paling banyak. Namanya juga masuk dalam sebuah buku perjalanan Museum Sangiran.
Kemampuan Sinyur mengidentifikasi tanah yang menyimpan fosil tersebut juga dimanfaatkan para mahasiswa arkeologi untuk belajar. Sejumlah peneliti arkeologi juga kerap bertandang ke rumahnya sekadar untuk berdiskusi soal penemuan fosil tersebut.
Para peneliti itu ingin belajar mengidentifikasi tanah yang di dalamnya menyimpan fosil. "Kalau ikut terus, pasti capek. Ada yang pernah ikut, lalu kakinya keseleo. Sebab, naik turun jurang," ujarnya.
Sutanto, seorang warga di kawasan Kalijambe, Sangiran, mengungkapkan, selama ini museum cukup rendah menghargai temuan fosil. "Saya pernah dengar, temuan gading hanya dihargai Rp 250 ribu dan diberi piagam. Padahal, untuk mengangkutnya ke permukaan tanah, butuh waktu sampai dua hari. Ya warga langsung bereaksi, piagamnya langsung disobek-sobek," ucapnya.
Dia menambahkan, menemukan fosil di situs tersebut memang serbadilematis. Selama ini, museum tak selalu mau menerima fosil yang tak utuh. "Namun, bila pecahan fosil dijual ke pedagang gelap, justru jadi masalah. Kami warga jadi serbasalah," katanya. (*/c5/ttg)
Tidak ada komentar